Thursday, April 25, 2024

Lansia, Menghayati Mistik Keseharian

 



Salah satu refleksi filosofis yang barangkali sesuai dan kontekstual dengan realitas kehidupan sebagai lansia adalah refleksi yang dipaparkan oleh filsuf Jerman bernama Martin Heidegger. Dua tema penting yang dapat digunakan sebagai landasan pemikiran adalah refleksinya tentang faktisitas atau pengalaman keterlemparan dan refleksinya tentang proses mewaktu. 


Faktisitas

Tak seorangpun di antara para lansia yang terlibat da-lam penulisan buku ini, yang sebelum menjadi lansia pernah diajak berdiskusi atau diberi pertanyaan apakah ia bersedia untuk menjadi lansia ataukah tidak. Juga tak seorangpun di antara para lansia yang sebelum menjadi lansia pernah disodori sebuah pilihan apakah ia akhirnya akan menjadi lansia atau akan terus menjadi manusia muda yang tak pernah mengalami kemunduran fungsi tubuh, kemampuan mendengarkan, kemampuan melihat, tak mengalami gangguan sendi, tak mengalami nyeri asam urat dan gangguan kesehatan lainnya. Menjadi lansia adalah faktisitas, yakni sebuah pengalaman keterlemparan. Mau tak mau, tanpa menunggu persetujuannya, seseorang terlempar menjadi lansia seturut waktu hidup yang dijalaninya. Tak ada pilihan lain, tak bisa diubah, dan tak bisa ditolak. Faktisitas atau pengalaman keterlemparan sebagai lansia ini adalah sebuah realitas  niscaya yang hanya dapat dihadapi dengan satu sikap dasar, yakni diterima apa adanya sebagai realitas diri. 


Proses Mewaktu

Proses mewaktu dapat dipahami sebagai sebuah proses yang dipilih secara sadar, penuh tanggung jawab dan otonom oleh manusia untuk menghadirkan diri secara intensif, otentik, dan berkualitas di dalam waktu. Dengan demikian, proses mewaktu adalah sebuah pilihan. Ini merupakan tindakan positip dan bertanggung jawab dalam menghadapi faktisitas sebagai lansia. Proses mewaktu menjadi metode atau cara yang unik dan khas bagi setiap manusia (Dasein) untuk menghadapi dan menjalani pengalaman keterlemparan secara berkualitas dan bermakna.

Boleh dikatakan bahwa pilihan proses untuk mewaktu ini, yang merupakan pilihan otonom untuk menghadirkan diri secara intensif, otentik dan berkualitas di dalam waktu, merupakan pilihan untuk terlibat secara aktif, kreatif dan produktif di dalam waktu keseharian. Pilihan ini menjadi pembeda dengan manusia lain yang oleh Martin Heidegger disebut mengalami kejatuhan di dalam waktu keseharian. Saya lebih memilih istilah lain bahwa manusia yang jatuh di dalam waktu keseharian ini adalah manusia yang terlipat oleh waktu. Manusia yang terlipat oleh waktu ini disebut sebagai Das Man. Manusia yang terlipat oleh waktu, adalah manusia yang hanyut, larut, mengalir tanpa pernah membangun pilihan sadar dan reflektif terhadap waktu dan keseharian. Ia menjadi manusia di dalam kumpulan dan gerombolan tanpa menghadirkan otentisitas, keunikan, otonomi dan pilihan kreatif penuh kesadaran dan tanggung jawab. 

Dari sini kita menjadi tahu bahwa dalam menghadapi faktisitas atau pengalaman keterlemparan, lansia dihadapkan kepada dua pilihan, apakah ia akan menjalani realitasnya sebagai lansia itu dengan memilih proses mewaktu, yakni memilih menghadirkan diri dan terlibat secara otentik dan berkualitas di dalam waktu (menjadi Dasein), ataukah membiarkan diri begitu saja untuk terlipat tanpa pilihan otonom di dalam waktu (menjadi Das Man). Lansia yang memilih untuk mewaktu, adalah lansia yang memilih untuk menegaskan otentisitas, otonomi, keunikan, dan kualitas di dalam menghayati waktu dan kesehariannya sebagai lansia. Pilihan ini dijalankan dan dihayati melalui beragam profesi, kompetensi, hobi, bakat, dan minat yang ada di dalam diri masing-masing lansia. Melalui semua itu manusia lansia hadir sebagai manusia yang otentik, otonom, unik dan berkualitas di tengah kehidupan kesehariannya.  


Menghayati Mistik Keseharian

Pada gilirannya, lansia yang memilih proses mewaktu, yang menghadirkan diri secara intensif, otentik, dan berkualitas di dalam waktu, yang terlibat di dalam waktu keseharian tanpa terlipat olehnya, yang memilih menjadi Dasein, adalah lansia yang memilih untuk menghayati mistik keseharian. Kata mistik di sini tak ada kaitannya dengan jagading lelembut atau dunia hantu dan horor, melainkan suatu pilihan sadar penuh tanggung jawab dan terbuka untuk senantiasa membuat realitas keseharian itu menyingkapkan dirinya dan mengungkapkan makna terdalamnya. Dengan demikian, setiap waktu yang dijalaninya menjadi waktu yang bermakna. Karena tersingkap dan terungkap makna terdalamnya, maka waktu keseharian yang dijalaninya itu menjadi waktu keseharian yang transparan, terbuka, menghadirkan pesona, bahkan barangkali dapat mengalirkan suatu pengalaman yang menggetarkan hati (tremendum) dan memancarkan pesona yang mendalam (fascinosum). Lansia yang menghayati mistik keseharian adalah lansia yang sanggup membangun jarak terhadap setiap pengalaman kesehariannya dan menenun refleksi atas pengalaman itu. Ia menjadi lansia yang wening meskipun berada di tengah kesibukan dan keramaian. Ia menjadi lansia yang sanggup berkontemplasi di dalam aksi, bertapa dalam keramaian (tapa ngrame).

Buku Kumpulan Esai berjudul Kita Lansia, Terus Berkarya, Bahagia, Penuh Berkah ini adalah salah satu dokumentasi tentang bagaimana para lansia ini telah menghadapi faktisitas atau pengalaman keterlemparan sebagai lansia dengan memilih menjadi Dasein, yakni memilih menjadi lansia yang menghadirkan diri secara intensif, otentik, dan berkualitas di dalam waktu, yang memilih terlibat secara kreatif dan penuh tanggung jawab di dalam waktu tanpa terlipat di dalamnya, sehingga tidak menjadi Das Man, atau manusia gerombolan, melainkan menjadi lansia yang menghayati mistik keseharian dan menjadikan setiap saat dalam langkah hidupnya sebagai saat yang bermakna, saat yang menyingkapkan esensi dirinya dan mengungkapkan makna terdalamnya. Dengan pilihan itu, para lansia yang terlibat dalam penulisan buku ini telah menghadirkan otentisitas, keunikan, dan kualitas dirinya. Lansia yang memilih untuk mewaktu, menghadirkan otentisitas, keunikan dan kualitas dirinya di dalam waktu, yang menghayati mistik kesehariannya, pada gilirannya menjadi lansia yang bahagia dan menghadirkan berkah bagi manusia-manusia lain di sekitarnya dan bagi semesta. 

Selamat membaca buku ini dan menyelami penyingkapan-penyingkapan makna yang terkandung di dalamnya. 


Indro Suprobo

Saturday, December 09, 2023

Palestina dan Perempuan yang Dituduh Berzinah

 


oleh Indro Suprobo


Kisah tentang perempuan yang dituduh berzinah, yang terdapat di dalam Injil Yohanes  7:53-8:11, sangat menarik untuk dibaca sebagai kerangka memahami relasi politik antara Palestina dan Israel. Saya meyakini bahwa cara membaca kisah ini yang kemudian digunakan sebagai kerangka untuk membaca relasi politik antara Palestina dan Israel, belum pernah dilakukan oleh siapapun. Cara membaca yang demikian ini, saya sengaja dan saya sadari sebagai sebuah upaya penafsiran teologi politik. Teologi politik di sini dipahami sebagai sebuah refleksi teologis, yakni menemukan nilai atau prinsip-prinsip teologis terutama dari teks Kitab Suci, yang digunakan untuk merangi analisis relasi politik kontekstual dalam kehidupan sosial. Nilai dan prinsip teologis yang ditemukan itu pada gilirannya dijadikan landasan untuk menentukan sikap dan pilihan tindakan berhadapan dengan realitas sosial  kontekstual yang dihadapi. Maka teologi politik adalah sebuah refleksi teologis yang digunakan sebagai inspirasi untuk membaca relasi-relasi sosial politik kontekstual. Dari sana dirumuskan pilihan-pihan sikap dan pilihan tindakan. Pilihan sikap dan pilihan tindakan yang dirumuskan ini menjadi cerminan dari apa yang disebut sebagai preferential option. 


Teks dan Konteks

Teks lengkap kisah perempuan yang dituduh berzinah itu pantas dicermati secara detail dan ditempatkan dalam konteks, agar keseluruhan teks itu dapat dibaca secara lebih lengkap dan bertanggung jawab. Teks lengkapnya saya kutipkan sebagai berikut ini:

7:53 Lalu mereka pulang, masing-masing ke rumah-nya, 8:1 tetapi Yesus pergi ke bukit Zaitun. 8:2 Pagi-pagi benar Ia berada lagi di Bait Allah, dan seluruh rakyat datang kepada-Nya. Ia duduk dan mengajar mereka. 8:3 Maka ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa kepada-Nya seorang perempuan yang kedapatan berbuat zinah. 8:4 Mereka menempatkan perempuan itu di tengah-tengah lalu berkata kepada Yesus: «Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah. 8:5 Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian. Apakah pendapat-Mu tentang hal itu?» 8:6 Mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka memperoleh sesuatu untuk menyalahkan-Nya. Tetapi Yesus membungkuk lalu menulis dengan jari-Nya di tanah. 8:7 Dan ketika mereka terus-menerus bertanya kepada-Nya, Iapun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka: «Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.» 8:8 Lalu Ia membungkuk pula dan menulis di tanah. 8:9 Tetapi setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggallah Yesus seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya. 8:10 Lalu Yesus bangkit berdiri dan berkata kepadanya: "Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?" 8:11 Jawabnya: "Tidak ada, Tu(h)an." Lalu kata Yesus: "Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang."

Sangat pantas dan sangat penting untuk dikemukakan bahwa perikop Yoh 7:53-8:11 merupakan sambungan dari perikop sebelumnya, yakni kisah tentang Pembelaan Nikodemus terhadap Yesus (7:45-52). Perikop tentang pembelaan Nikodemus ini sangat pantas dipertimbangkan dan dicermati sebagai bagian dari konteks karena ia memberi keterangan yang penting bagi detail ayat dalam kisah tentang perempuan yang dianggap berzinah ini. Seluruh kisah tentang perempuan yang dituduh berzinah ini wajib dibaca dalam kaitan dengan perikop tentang pembelaan Nikodemus, terutama memperhatikan ayat-ayat pada bagian 7:50-52, yang mendahului kisah ini, yang narasinya sebagai berikut:

7:50 Nikodemus, seorang dari mereka, yang dahulu telah datang kepada-Nya, berkata kepada mereka: 7:51 "Apakah hukum Taurat kita menghukum seseorang, sebelum ia didengar dan sebelum orang mengetahui apa yang telah dibuat-Nya?" 7:52 Jawab mereka: "Apakah engkau juga orang Galilea? Selidikilah Kitab Sui dan engkau akan tahu bahwa tidak ada nabi yang datang dari Galilea." 

Gugatan Nikodemus kepada elit-elit Yahudi yang ingin menghukum Yesus tanpa terlebih dahulu mendengarkan dan mengetahui apa yang dilakukannya, sebagaimana terbaca pada ayat 7:51, menjadi kerangka motivasi untuk mengajukan kasus tentang perempuan yang dituduh berzinah itu. Secara jelas, kerangka motivasi itu ditegaskan dalam ayat 8:6 yang bunyinya "Mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka memperoleh sesuatu untuk menyalahkan-Nya. Tetapi Yesus membungkuk lalu menulis dengan jari-Nya di tanah."  Ini berarti bahwa pengajuan kasus tentang perempuan yang dituduh berbuat zinah itu secara keseluruhan sebenarnya merupakan sebuah konstruksi untuk menjebak Yesus sehingga jawaban Yesus itu dapat dikategorikan sebagai perkataaan dan perbuatan yang selanjutnya dijadikan landasan untuk menghukumnya, atau secara lebih tepat, agar mereka dapat menuntut pertanggungjawaban dari Yesus. Dengan demikian, relasi antara ayat 7:51 dan ayat 8:6 merupakan relasi yang sangat penting dan mendasar, serta menjadi kerangka dari seluruh persoalan yang diajukan di dalam perikop tentang perempuan yang dituduh berzinah ini. 

Dalam konteks itu, perhatian utama dari seluruh narasi perikop ini harus diarahkan kepada relasi antara konstruksi pengajuan kasus dan jawaban serta sikap Yesus terhadapnya. Dari relasi antara kedua hal itulah, seluruh kemungkinan inspirasi dapat ditemukan dan dijadikan sebagai prinsip-prinsip dan nilai teologis yang penting. Selanjutnya, prinsip dan nilai teologis ini menjadi landasan bagi perumusan prefential option baik dalam wujud cara berpikir, cara bersikap maupun tindakan.

Analisis Narasi

Pertama, seperti dinyatakan dalam bagian konteks, persoalan tentang perzinahan yang dituduhkan kepada perempuan ini adalah sebuah konstruksi kasus. Jika dicermati secara lebih kritis, konstruksi ini tiba-tiba telah menyuguhkan sesuatu yang seolah-olah telah menjadi fakta atau realitas bahwa perempuan yang digelandang itu adalah perempuan yang didapati telah berbuat zinah. Tanpa memberikan kesempatan untuk menjelaskan dan membela situasi dirinya sendiri, perempuan ini sudah langsung dikonstruksikan sebagai perempuan yang telah berbuat zinah, digelandang beramai-ramai, dilucuti kehormatan dan martabatnya sebagai pribadi. Ia langsung ditempatkan dalam tuduhan, dan dipaksa tunduk kepada konstruksi yang dirumuskan oleh para elit, lalu dengan seluruh kuasa dan dominasinya, para elit ini telah mengambil tindakan "penggelandangan" secara beramai-ramai, yang pada dirinya juga sudah merupakan bagian dari tindakan memberikan hukuman secara sosial karena perempuan itu telah langsung didiskreditkan. Suara dan haknya untuk menjelaskan dan membela dirinya langsung dibungkam. Konstruksi wacana tentang perzinahan yang telah dituduhkan kepadanya itu, serta merta telah langsung menjadi wacana sosial yang kurang lebih dipercayai oleh publik, paling tidak oleh segerombolan orang yang bersama-sama dengan para elit itu telah menggelandang perempuan itu dan menempatkannya sebagai terhukum. Dalam situasi ini, perempuan itu telah langsung terdiskriminasi secara wacana. Maka, wacana yang dikonstruksi oleh elit bahwa perempuan itu telah melakukan perzinahan, tanpa disertai penjelasan dan pembelaan terhadap fakta yang sebenarnya, telah menjadi suatu wacana diskriminatif atau discriminatory discourse

Kedua, praktik konstruksi wacana tentang perzinahan yang disertai dengan tindakan penggelandangan terhadap perempuan ini, melanggar hukum Musa, terutama seperti yang tertulis di dalam kitab Ulangan 22:22 yang menyatakan bahwa,”apabila seseorang kedapatan tidur dengan seorang perempuan yang bersuami, maka haruslah keduanya dibunuh mati, laki-laki yang tidur dengan perempuan itu dan perempuan itu juga. Demikianlah harus kau hapuskan yang jahat itu dari antara orang Israel”. Dalam konstruksi kasus ini, yang diajukan sebagai tertuduh yang pantas dihukum hanyalah perempuan, sementara pihak laki-laki yang terlibat dalam perzinahan ini sama sekali tak diajukan dan tak disinggung sedikitpun oleh para elit tersebut. Dalam konteks ini, ada semacam manipulasi informasi yang dilakukan demi memfasilitasi kepentingan, yakni kepentingan untuk menjebak Yesus. Ini berarti ada informasi yang disembunyikan agar konstruksi wacana tentang perzinahan itu menjadi wacana yang dominan yang langsung mendorong persetujuan publik tanpa sikap kritis, sehingga secara spontan dan emosional, publik langsung mendukung menyetujui konstruksi tersebut dan mendukung seluruh cara berpikir, cara bersikap dan cara bertindak kaum elit itu terhadap perempuan yang dituduh dan digelandangnya. Dalam kajian wacana kritis, tindakan kaum elit ini merupakan sebuah upaya untuk menghidupkan ilusi Muller Lyer publik di mana sisi-sisi emosional lebih dominan dan cenderung menjadi acuan sikap dan tindakan daripada sisi-sisi rasional kritis yang berbasis analisis  informasi dan fakta. Ilusi Muller Lyer yang lebih mengacu kepada sisi-sisi emosional ini dimaksudkan untuk mengakumulasi dukungan terhadap seluruh konstruksi wacana dan tindakan kaum elit. Sekali lagi hal ini diperkuat oleh tertutupnya ruang dan kesempatan bagi perempuan itu untuk menjelaskan dan membela dirinya. Seluruh konstruksi dan tindakan kaum elit ini telah menjadikan perempuan itu sebagai pribadi yang dibungkam dan disudutkan dalam ketakberdayaan. Akibatnya, tak ada counter wacana.

Ketiga, inilah yang paling penting, yakni jawaban dan sikap Yesus terhadap seluruh konstruksi dan tindakan yang diajukan kepadanya. Sebagaimana dinyatakan dalam ayat 8:6, menghadapi semua itu, Yesus membungkuk lalu menulis dengan jari-Nya di tanah. Dalam penafsiran saya, sebenarnya Yesus tak menulis apapun atau melukis apapun di tanah. Gerakan jarinya di atas tanah itu sebenarnya bukanlah sebuah tindakan menulis sesuatu atau melukis sesuatu, melainkan suatu ekspresi spontan dari sebuah sikap kritis yang sangat serius dan pengambilan jarak terhadap konstruksi wacana dan tindakan yang sedang dihadapinya. Ini merupakan ekspresi dari tindakan menimbang-nimbang, discernment, membaca fenomena, menganalisis, membongkar, dan menelusuri kemungkinan fakta-fakta yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan. Membungkuk dan menulis dengan jarinya di atas tanah adalah sebuah langkah radikal dan fundamental dalam menghadapi semua bentuk konstruksi wacana. Membungkuk adalah tindakan mengalihkan fokus bukan kepada apa yang tampak, yang formal, bentuk-bentuk, informasi dan rumusan bahasa yang beredar, melainkan kepada apa yang sebenarnya memengaruhi seluruh konstruksi itu, apa yang ada di balik yang tampak itu, apa yang tersembunyi di dalam yang formal dan bentuk-bentuk, serta apa yang tersembunyi di dalam informasi dan bahasa yang disuguhkan. Tindakan membungkuk atau mengalihkan fokus adalah sebuah tindakan yang mencerminkan independensi cara berpikir dan otonomi untuk mencermati realitas sehingga dapat benar-benar mengambil pilihan sikap dan cara bertindak yang tepat dan bertanggung jawab. Ini adalah tindakan membebaskan diri dari jebakan-jebakan yang dapat memengaruhi cara berpikir, cara bersikap dan cara bertindak. Ini adalah tindakan untuk membebaskan diri dari segala ideologi yang tersembunyi di dalam bahasa yang disuguhkan kepadanya. 

Pantas dibayangkan bahwa saat Yesus membungkuk dan menulis dengan jarinya di atas tanah, adalah saat hening, diam, tenang, sunyi. Itu adalah saat yang menggelisahkan bagi mereka yang terbiasa larut dalam hiruk pikuk kerumunan dan tak terbiasa dengan keheningan. Pantas dimengerti bahwa dalam situasi yang demikian itu, mereka akan terus-menerus bertanya, dalam hiruk pikuk dan kegelisahan (8:7). Boleh juga dipahami bahwa bombardir pertanyaan yang terus-menerus tiada henti adalah strategi untuk menguasai pikiran dan melemahkan daya kritis, atau sebuah teror terhadap nalar kritis.

Namun, dengan cara itu, Yesus telah sanggup melihat ketidakadilan yang tersembunyi di dalam bahasa tuduhan yang diajukan. Ia mengidentifikasi kepentingan yang sangat jelas di balik semua dalih yang seolah-olah menjunjung tinggi moralitas. Ia menemukan secara jeli motif-motif tersembunyi yang sebenarnya merupakan hasrat untuk mengukuhkan dominasi. Ia membaca dengan penuh waspada segala kelit kelindan yang sebenarnya merupakan keresahan untuk mempertahankan kuasa. 

Dalam semua itu Yesus menyadari bahwa perempuan yang digelandang dalam hiruk pikuk keramaian gerombolan itu, adalah pribadi yang seluruh martabat dan harga dirinya sedang dilucuti. Oleh karena itu secara tegas akhirnya ia memberikan jawaban,"Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." Pernyataan ini dapat diartikan bahwa siapapun yang telah sungguh-sungguh melakukan keadilan, tak memiliki kepentingan di balik dalih moralitas, tak memiliki hasrat tersembunyi untuk mendominasi, dan tak memiliki kegelisahan untuk mempertahankan kekuasaan, memiliki legitimasi penuh untuk memberikan hukuman. Karena jawaban Yesus ternyata sama sekali keluar jauh dari segala konstruksi dan jebakan, dan barangkali sama sekali tak sesuai dengan dugaan yang diharapkan, maka satu per satu mereka pergi meninggalkan perempuan itu sendirian. Jawaban yang di luar dugaan itu, sama sekali tak dapat dijadikan sebagai landasan untuk memfasilitasi kepentingan. 

Jawaban Yesus bukanlah jawaban yang bersifat netral, melainkan jawaban yang loyal dan berpihak kepada nilai keadilan. Oleh karenanya, ia juga berpihak kepada yang cenderung rentan menjadi korban, yang posisinya didominasi dan terdiskriminasi. Yesus berpihak kepada perempuan dan membebaskannya dari ketidakadilan, melepaskannya dari kebungkaman, lalu memberi ruang kepadanya untuk bersuara (breaking the silence), sambil mewanti-wanti "pergilah dan jangan sampai tergelincir dalam jebakan-jebakan lagi."

Palestina dan Perempuan

Selama berpuluh-puluh tahun, dan terutama akhir-akhir ini, Palestina telah selalu diduduki, rumah-rumah tinggal warganya dihancurkan, penghuninya diintimidasi dan dipaksa mengungsi,  mereka yang masih tinggal didiskriminasi, dihinakan martabatnya, ketika berada dalam perjalanan ditembak begitu saja dan dianggap bukan manusia. Hari-hari ini, warga Palestina sangat menderita, dibombardir dengan beragam bom dan peluru, habitat hidupnya dihancurkan menjadi puing-puing yang mengubur anak-anak dan perempuan tanpa dosa. Mereka kehilangan orang-orang tercinta. Anak-anak kehilangan orang tua, orang tua kehilangan anak-anak, kematian merenggut sanak-saudara. Sangat pantas disetujui bahwa setiap detik mereka menghadapi genosida.

Kekejaman dan ketidakadilan selama berpuluh-puluh tahun, tentu saja melahirkan mekanisme mempertahankan diri. Gerakan-gerakan perlawanan lahir di mana-mana. Ilan Pappe, seorang ahli sejarah Israel dan ilmuwan politik di Universitas Exeter Inggris menyatakan bahwa gerakan perlawanan di Palestina, pada awalnya dimulai oleh kaum kristen sekular Palestina lalu diikuti oleh banyak gerakan perlawanan lainnya, dan yang menjadi paling populer saat ini adalah Hamas. Ini berarti bahwa perlawanan warga Palestina bukanlah persoalan agama melainkan persoalan mempertahankan kehidupan dan kemanusiaan yang telah selalu dihancurkan dan dihinakan. Ini adalah persoalan mempertahankan harkat dan martabat kemanusiaan di hadapan tindakan kejahatan selama puluhan tahun. 

Namun yang terjadi, hak untuk melakukan perlawanan demi mempertahankan harkat dan martabat kemanusiaan yang dihinakan dan dihancurkan itu, selalu dikonstruksikan sebagai terorisme. Konstruksi wacana yang menyatakan bahwa tindakan perlawanan itu adalah terorisme, telah memanipulasi fakta yang sesungguhnya terjadi. Konstruksi wacana itu juga telah melahirkan pandangan diskriminatif terhadap warga Palestina sehigga ketika mereka menghadapi kejahatan kemanusiaan dan genosida, mereka justru ditempatkan sebagai pihak yang bersalah dan pantas menanggung hukuman. Tak mengherankan jika ada banyak negara yang kuat dan besar, yang memiliki pengaruh dalam percaturan politik dunia, justru mendukung pihak yang melakukan penghancuran kemanusiaan dan genosida, melalui beragam kebijakan termasuk melalui dukungan persenjataan. Dengan demikian konstruksi wacana diskriminatif (discriminatory discourse) itu telah benar-benar beroperasi dan memengaruhi cara berpikir, cara bersikap serta cara bertindak begitu banyak orang. Tindakan-tindakan kejahatan dan ketidakadilan telah dimanipulasi sedemikian rupa sehingga seolah-olah tampak sebagai tindakan penuh kewibawaan moral. Manipulasi itu juga mengakibatkan pihak yang melakukan ketidakadilan dan kejahatan itu justru menilai diri dan dinilai oleh para pendukungnya sebagai aktor penegak moralitas yang memiliki hak untuk memberikan hukuman. 

 Dalam situasi ini, Palestina menjadi seperti perempuan yang dituduh berzinah di dalam narasi Injil Yohanes 7:53-8:11. Tanpa diberi ruang untuk menjelaskan dan membela dirinya, Palestina telah digelandang selama puluhan tahun, dihinakan, martabat kemanusiaannya dihancurkan. Pengeboman rumah sakit, penghancuran tempat tinggal, serangan terhadap tempat-tempat pengungsian yang mengakibatkan kematian ribuan nyawa termasuk anak-anak dan perempuan, penutupan seluruh akses bantuan, pemblokiran akses terhadap seluruh kebutuhan dasar yang vital, adalah tindakan penggelandangan terhadap Palestina, yakni penghukuman publik sebelum ia sendiri dapat menjelaskan dan membela dirinya sendiri. Seperti perempuan dalam kisah itu, Palestina telah disudutkan seolah-olah sebagai manusia paling berdosa sehingga pantas diajukan ke hadapan publik untuk segera ditentukan hukumannya. Dalam seluruh proses itu, ia telah dibungkam, sama sekali tak diberi ruang untuk menyatakan diri dan menyatakan fakta dan pengalaman yang senyatanya dihadapi. 

Membungkuk dan menulis dengan jari di atas tanah

Menghadapi semua itu, satu-satunya tindakan yang pantas kita lakukan, seperti dilakukan oleh Yesus, adalah membungkuk dan menulis dengan jari di atas tanah. Kita wajib mengalihkan perhatian dari konstruksi wacana diskriminatif yang diajukan itu, lalu seperti dipesankan oleh Hannah Arendt, kita perlu membangun imajinasi tentang liyan, yakni imajinasi tentang menjadi orang Palestina. Membungkuk dan menulis dengan jari di atas tanah adalah praktik tentang sikap kritis, discernment, menelusuri fakta-fakta dan realitas yang sebenarnya terjadi, membaca fenomena, menganalisis, membongkar, dan menelusuri kemungkinan fakta-fakta yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan, membongkar ideologi dan kepentingan yang tersembunyi di dalam bahasa yang digunakan, menyelami pengalaman konkrit yang dirasakan oleh orang-orang Palestina dalam menghadapi fakta-fakta dan realitas itu, menerapkan seluruh pengalaman, duka, kecemasan, penderitaan, perasaan kehilangan, pengalaman ketergantungan, pengalaman pengungsian, kengerian menyaksikan kematian bertubi-tubi tanpa dapat menyelamatkan diri, selalu berjaga-jaga namun selalu diikuti oleh bahaya yang datang tiba-tiba lalu menghancurkan apapun yang ada. Selanjutnya, menempatkan seluruh pengalaman itu sebagai pengalaman diri, untuk meneliti dan mencermati, bagaimanakah gerak batin di dalam diri sendiri.  Upaya membungkuk dan menulis dengan jari di atas tanah ini, niscaya akan membawa kita kepada penemuan bahwa sejatinya seluruh pengalaman yang dihadapi oleh orang-orang Palestina ini adalah pengalaman ketidakadilan yang nyata, dan pengalaman menghadapi penghancuran kemanusiaan dalam beragam cara. 

Gustavo Gutierrez, seorang teolog pembebasan Amerika Latin dari Peru, menyatakan bahwa di hadapan ketidakadilan dan penindasan, apalagi yang didukung oleh konstruksi wacana diskriminatif, sikap netral tidak memiliki tempat, sebab sikap netral justru sama artinya dengan mendukung para penindas. Menghadapi kenyataan ketidakadilan dan penindasan, orang musti berpihak dan loyal kepada nilai keadilan, yang diwujudkan di dalam praksis preferential option for the oppressed, memihak dan membela mereka yang ditindas. Sikap ini sejalan dengan apa yang dilakukan oleh Yesus dalam kisah perempuan itu, yakni berpihak kepada keadilan dengan cara memihak dan membela perempuan yang dituduh berzinah, menyelamatkan dan membebaskan perempuan itu dari kesewenang-wenangan kaum elit yang memperalatnya demi kepentingan mereka sendiri. 

Dengan demikian, pernyataan Yesus yang berbunyi "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu" dalam konteks ketidakadilan dan penindasan terhadap Palestina dapat dirumuskan ulang demikian "Barangsiapa di antara kamu sama sekali tak pernah melakukan tindakan teror, penggusuran, pengusiran, penghancuran, memaksa orang untuk mengungsi, menghancurkan rumah sakit dan membunuh anak-anak, perempuan dan orang-orang yang tak bersalah, menutup seluruh akses kebutuhan vital yang sangat penting bagi kehidupan, tak menjalankan politik apartheid, rasisme dan genosida terhadap siapapun, hendaklah ia melempar batu kepada orang-orang Palestina". Namun, jika tidak demikian, maka siapapun dia, sama sekali tak memiliki legitimasi untuk menghakimi dan menghukum orang-orang Palestina. 

Dalam konteks ini, upaya dan tindakan tegas untuk menghentikan seluruh pendudukan, penyerangan, penghancuran, dan bombardir peluru terhadap Palestina adalah sebuah kewajiban dan tuntutan serta panggilan kemanusiaan bagi siapapun yang berakal sehat. Seperti dikatakan oleh Bhikku Shri Pannavaro Mahatera bahwa penderitaan orang lain itu semestinya menggetarkan dan mendorong orang untuk memberikan bantuan, jika tak dapat melakukan apapun, paling tidak mendoakan agar mereka segera dibebaskan dari penderitaan, demikian juga Johann Baptist Metz, seorang teolog politik Jerman, menyatakan bahwa penderitaan orang lain merupakan undangan bagi orang beriman untuk membebaskan diri dari segala bentuk ketidakpedulian. Terbebas dari ketidakpedulian itulah yang disebut sebagai compassion. Keberpihakan dan pembelaan terhadap mereka yang senyatanya tertindas, dipaksa mengungsi, dihancurkan, dan menghadapi ancaman kematian dalam hitungan detik, adalah wujud nyata dari ketergetaran dan compassion

Jika tak memiliki kesanggupan untuk secara langsung menghentikan penindasan yang masih terus berlangsung ini, paling tidak kita masih dapat menghentikan konstruksi wacana diskriminatif tentang Palestina dengan selalu memproduksi counter wacana bahwa Palestina adalah warga manusia yang memiliki hak untuk hidup dalam damai, bertumbuh dalam adab yang bernilai dan luhur sebagaimana sudah dipraktikkan sejak dahulu kala, bahwa perlawanan-perlawanan mereka yang diwakili oleh kelompok pejuang Hamas bukanlah terorisme pada dirinya sendiri melainkan sebuah keterpaksaan yang dipilih sebagai upaya satu-satunya untuk membela dan mempertahankan martabat kemanusiaan yang selalu saja dihancurkan dan direndahkan. Sudah saatnya ruang-ruang yang luas dan bebas bagi Palestina untuk bersuara dan mengungkapkan dirinya tentang realitas yang dihadapinya setiap hari, diberikan dan disediakan. Melalui konstruksi-konstruksi wacana yang empatik dan penuh solidaritas terhadap Palestina, kita dapat bersama-sama melakukan upaya edukatif, konstruktif dan kritis sebagaimana dilakukan oleh banyak orang Israel sendiri, terutama para mantan tentara IDF,  yang didukung oleh banyak orang Yahudi terdidik yang berpikiran kritis dan berwawasan luas, yakni "breaking the silence", memecah kebisuan dan menyuarakan kebenaran. 

Semoga Palestina segera terbebas dari penderitaan dan penindasan, lalu meraih martabatnya yang luhur sebagai manusia merdeka. Semoga kesaksian hidup mereka, yang telah sekian lama dididik oleh gelapnya penderitaan, pada akhirnya berkilau dan memancar bagaikan bunga bagi segala kota, Zahrat al-Mada'en.***

Monday, November 27, 2023

Manuel Musallam, Pastor Palestina yang Berteologi dari Pengalaman

 


Ini adalah kesaksian hidup dan pilihan sikap seorang Pastor Katolik Palestina. Pengalaman hidupnya yang terus-menerus menghadapi penderitaan bersama warga Palestina, telah membuatnya menentukan sikap dengan preferential for the Palestinian. Barangkali kesaksian hidup dan pilihan sikapnya ini dapat menjadi salah satu sumber belajar bagi kita. Pengalaman itu dalam pandangan saya merupakan sebuah proses "Berteologi dari Pengalaman". Tulisan ini diterjemahkan dan disunting dari wikipedia oleh Indro Suprobo.


Manuel Musallam (lahir 16 April 1938) adalah seorang pastor Katolik Palestina. Pelayanan pastoralnya telah membawanya ke Yordania, Tepi Barat, dan Gaza. Dia adalah seorang aktivis Palestina, sangat menentang pendudukan Israel di wilayah Palestina, dan Yudaisasi Yerusalem. Beliau telah membuka pintu sekolah Kristen bagi keluarga Muslim, berupaya mencapai kesepahaman antara Fatah dan Hamas dan berperan penting dalam menengahi solusi terhadap ketegangan infra-Muslim dan Muslim-Kristen. Mahmoud Abbas, Presiden Otoritas Palestina, menunjuknya sebagai kepala Departemen Umat Kristen di Kementerian Luar Negeri Palestina. Ia adalah seorang orator terkemuka, dan pendiri Komunitas Foklor Palestina, dan ia dianugerahi medali emas. Pastor Musallem pensiun ke Birzeit, pada usia 71 tahun, karena alasan kesehatan, pada Mei 2009.

Karya Pelayanan

Musallam dibesarkan di Bir Zeit dekat Ramallah. Dia masuk Seminari Menengah di Beit Jala di luar Betlehem untuk belajar menjadi imam pada bulan Oktober 1951. Setelah ditahbiskan pada tahun 1963, dia ditugaskan untuk melakukan pelayanan pastoral di kota Zarqa dan Anjara di Yordania selama tahun 1960-an. Ia mendapat julukan amir (pangeran) umat Kristiani di kalangan umat Islam di Zarqa saat menjabat sebagai pastor vikaris paroki bersama Pastor Butros Aranki (1963–1968). Ia diangkat menjadi pastor paroki di Anjara pada tahun 1968 dan mengembangkan kontak yang kuat dengan fedayeen Palestina di daerah tersebut. Salah satu laporan menyatakan bahwa ia dinyatakan sebagai persona non grata sekitar tahun 1970, ketika pecah Pemberontakan September Hitam. Setelah beberapa waktu menjadi pastor di paroki Bir Zeit, ia dikirim ke Jenin (1971–1975), di mana terdapat sedikit umat Kristen tetapi kehadirannya masih dikenang dengan hormat oleh umat Islam. Musallam berusaha untuk lebih banyak belajar tentang manusia dengan duduk dan minum kopi di bar kafe bersama orang-orang di Jenin daripada membaca teks teologis. Musallam melayani ekaristi selama 4 tahun di kompleks Katolik di jantung Jenin, dan menjadi terkenal sebagai pemimpin Fatah, tetapi juga terlibat dalam pelayanan pastoral bagi umat Kristen di desa-desa terdekat, seperti Burqin dan Deir Ghazaleh.

Pada tahun 1975 ia diangkat menjadi pastor paroki di desa Zababdeh di Tepi Barat yang mayoritas beragama Kristen, sebuah daerah kantong di wilayah mayoritas Muslim, mengelilingi desa Tefit, Jalqamus, Mughayyir dan Qabatiya, di mana ia bertugas selama 2 dekade. Seringkali dia dipanggil untuk membantu menyelesaikan perselisihan antara klan Muslim yang bertikai di wilayah tersebut. Meskipun sering diperintahkan untuk bernegosiasi dengan gubernur militer Israel, Musallam umumnya menolak untuk pergi, meskipun ia diancam akan ditangkap jika tidak melakukannya, dan akhirnya mendapatkan penghormatan dari gubernur. Pada suatu kesempatan, ketika mendengar laporan bahwa ia sakit parah, gubernur militer mengirimkan helikopter untuk membawanya ke rumah sakit, namun tawaran tersebut ditolaknya. Rasa hormat yang ia peroleh selama berada di Jenin membuat banyak Muslim setempat memintanya untuk mengakomodasi anak-anak mereka di sistem sekolah yang sangat baik di Zababdeh yang ia kelola sejak pengangkatannya di sana. Ia langsung menerima usulan mereka, sehingga sepertiga siswanya adalah pemuda Muslim dari Jenin dan pedesaan sekitarnya. 

Sekelompok umat Kristen Palestina yang ada di sekitarnya, memandang diri mereka sebagai 'batu yang hidup yang merupakan suara dari mereka yang tak bersuara di Tanah Yesus', keturunan umat Kristen Perdana dan dengan demikian merupakan penduduk asli Palestina, dan dalam pandangan Musallam, mereka bukanlah orang-orang yang berpindah agama dari Yudaisme atau Islam, dan mereka adalah orang-orang yang bekerja untuk mencapai tujuan terwujudnya Satu Negara Sekular Demokratis. Ketangkasan retorisnya telah menjadi faktor penting dalam membentuk rasa identitas bersama lintas agama di kalangan warga Palestina. Ia ditunjuk untuk menjadi bagian dari keuskupan Gaza pada tahun 1995. Dalam pandangan Musallam, umat Kristen dan Muslim Palestina adalah satu bangsa: perbedaan dilenyapkan oleh penderitaan dan penghinaan bersama. Bahkan di Gaza di bawah pemerintahan Hamas, ia mencatat, umat Islam menghadiri pernikahan Kristen, pembaptisan, dan mengunjungi gereja pada acara-acara tertentu. Hamas, tegasnya, tidak memerangi agama lain. Mereka hanya terlibat dalam pertempuran melawan pendudukan Israel.

Perjanjian Oslo

Setelah Deklarasi tentang Prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam Perjanjian Damai Oslo tahun 1993, Fatah pimpinan Yassir Arafat mengorganisir demonstrasi di kalangan komunitas mayoritas Muslim untuk mengumpulkan dukungan mereka terhadap perjanjian tersebut di Kamp Pengungsi Jenin. Pidato pembukaan, analisis yang padat dari filsuf Palestina Sari Nusseibeh mendapat tepuk tangan meriah. Disusul dengan pembicaraan penuh semangat oleh seorang shabiba (pemuda Fatah) setempat yang menjanjikan bahwa ini adalah langkah pertama menuju reklamasi seluruh Mandatori Palestina, kata-kata yang mendapat tanggapan lebih antusias. Musallam dipilih untuk menutup rapat umum tersebut, dan penyampaiannya yang menggugah, menurut seorang pengamat asing, disela setiap kalimatnya selalu diiringi dengan teriakan al-Ab Manuel! al-Ab Manuel (Pastor Manuel!). Dia memuji nilai adat sumud, keteguhan keterikatan Palestina terhadap tanah air mereka, mulai dari nakba dan seterusnya hingga pengasingan mereka yang berkelanjutan. Sehubungan dengan Yerusalem, ia berkhotbah bahwa:

Dari gerbang Al-Aqsa pembawa berita berseru:
"Bulan Sabit dan Salib adalah tanda di tanganku!"
Tuhan lebih besar dari musuh
Yang menduduki Kubah Batu dan menyalib kami.

Sambil memodifikasi kata-kata Mazmur 137:5, 'Jika aku melupakanmu, hai Yerusalem Palestina, biarlah tangan kananku kehilangan kekuatannya', ia menutup orasinya dengan menyatakan:

'Mereka menceraiberaikan kami melalui angin ke seluruh penjuru bumi namun mereka tidak memusnahkan kami.'

Pidato yang disampaikan pada 8 September 1993 itu diterima dengan tepuk tangan meriah selama tujuh menit.

Sikap tentang Yerusalem

Musallam menganggap Yerusalem sebagai warisan dari ketiga agama Ibrahim, dan menyesalkan menurunnya populasi Kristen melalui emigrasi, yang dulunya kuat di sana, yang telah menurun dari 60.000 pada tahun 1967 menjadi 7.000 pada tahun 2006. Dia berpendapat bahwa Yerusalem bukanlah warisan yang bisa dibagikan kepada Israel, atau untuk diakui sebagai ibu kota negara tersebut. Itu tidak bisa dibangun seolah-olah pembangunan di sana tidak ada bedanya dengan pembangunan di Tel Aviv. “Yerusalem,” kata Musallam, “dulunya adalah kota Tuhan, kedamaian, dan doa namun telah diubah menjadi kota manusia, peperangan dan kebencian. Alih-alih menjadi kunci pintu surga, kota itu malah menjadi kunci peperangan dan darah." Dia yakin bahwa Israel menganggap situs-situs suci tersebut sebagai monumen "pagan", yang penghancurannya dianggap oleh para perusak akan membawa mereka lebih dekat kepada Tuhan. Tempat-tempat suci telah dianeksasi dan jumlah warga Palestina yang diizinkan mengunjunginya semakin berkurang.

Musallam mengutip Theodor Herzl, pendiri Zionisme, yang pernah menyatakan: 'Jika suatu hari kita memulihkan Yerusalem dan saya masih bisa melakukan apa pun ketika kita melakukannya, tindakan pertama saya adalah membersihkannya secara menyeluruh. Segala sesuatu yang tidak suci akan kusingkirkan dan monumen-monumen yang berusia berabad-abad akan Kubakar.”

Jalur Gaza

Upaya-upaya pemeliharaan perdamaian yang dilakukan oleh Musallam telah mendapat persetujuan dari Patriark Latin di Yerusalem, dan salah satu tugas yang diberikan kepadanya oleh Michel Sabbah ketika menunjuk Pastor Musallam di Gereja Keluarga Suci di Kota Gaza pada tahun 1995 adalah menjadi penengah antara Hamas dan Fatah, dengan mengatasi, melampaui perbedaan-perbedaan yang tidak dapat didamaikan, dan menyepakati isu-isu utama yang dapat mereka sepakati. Selama dua tahun pertama, dia tidak memiliki surat identitas yang sesuai. Misi tersebut menimbulkan kerugian pribadi: orang tuanya menemaninya ke Gaza, dan meninggal di sana, dan pihak berwenang Israel menolak izinnya untuk menemani mereka ketika mereka dimakamkan di Bir Zeit. Selama 14 tahun, Israel sebagian besar menolak dia masuk kembali ke Tepi Barat untuk mengunjungi keluarga dan teman-temannya, kecuali visa 3 bulan yang diberikan pada tahun 2007-8, namun hal ini bertepatan dengan hambatan dari Israel yang dihadapi para pastor yang berusaha menggantikannya selama ia tak dapat hadir di sana. Ini termasuk Fouad Twal yang konvoinya tertunda selama berjam-jam di Penyeberangan Erez, penundaan yang secara efektif mengganggu kemungkinan mereka merayakan Natal bersama komunitas Kristen Gaza. Salah satu mobil Twal, yang membawa hadiah coklat, ditolak transit. Dalam pandangan Musallam, orang-orang Palestina adalah 'sebuah bangsa yang diborgol', dan Jalur Gaza adalah sebuah penjara besar, bukan sebuah metafora, tapi cerminan dari kenyataan bahwa, dalam perkiraannya, setengah dari populasinya pernah mengalami penahanan penjara di Israel. Dia menganggap masa tinggalnya di sana sebagai penahanan 14 tahun penjara.

Paroki Katolik di Gaza dimulai pada tahun 1747. Komunitas Kristen di sana sebagian besar adalah Ortodoks Yunani, sekitar 3.000 orang, dengan 200 orang Katolik dan segelintir orang dari komunitas Gereja Baptis. Kehadiran Katolik dibuktikan oleh 5 Suster dai komunitas Suster de Rosario, 3 di antaranya menjalankan sekolah yang melayani 500 siswa. Secara keseluruhan, 2 sekolah yang dikelola oleh gereja Katolik tersebut mempekerjakan 80 guru dan menyediakan pendidikan campuran bagi 1.200 siswa dari setiap denominasi, termasuk dari keluarga fundamentalis Islam. Dari siswa tersebut, hanya 147 orang yang berasal dari keluarga Katolik (2006). Gereja juga hadir bersama 4 orang suster dari komunitas Little Sister of Père de Foucauld dan 6 misionaris Suster Cinta Kasih Bunda Teresa. Musallam mendirikan Forum Kristen-Islam di Gaza.

Pada tahun 2006, tahun dimana ia diangkat menjadi monsinyur, ia mengirimkan email ke jurnal yang disutradarai oleh Giulio Andreotti, penjelasan rinci tentang kehidupan suram di Gaza. Listrik tidak tersedia, terkadang penerangan hanya 4 jam, dan anak-anak dibesarkan dalam ketakutan akan kegelapan, budaya yang menghantui hantu, setan, dan rasa takut. Seseorang tidak dapat bersantai bersama sebagai sebuah keluarga atau menerima tamu setelah seharian bekerja: makanan langka, banyak orang yang terpaksa mengemis dari mereka yang tidak punya apa-apa dan air yang tersedia harus diambil dari sumur, dan drone di atas kepala sering mengganggu penerimaan televisi yang kecil. Gaji belum dibayarkan selama berbulan-bulan, anak-anak harus berjalan bermil-mil ke sekolah, tidak mampu melengkapi diri mereka dengan buku, sementara serangan rudal sering terjadi, dan anak-anak menjadi sasaran kekerasan yang tiada henti. Tidak jarang remaja pergi keluar dan melakukan bunuh diri dengan menyerang pos perbatasan Israel, dalam satu kasus, untuk membebaskan orang tua mereka dari beban untuk memberi mereka makan. Komunitas internasional enggan untuk berbicara dengan orang-orang Palestina dalam keadaan mereka yang menderita. Baginya, sepertinya seluruh dunia memandang Palestina sebagai musuh. Kasus Gilad Shalit, satu-satunya tentara Israel yang disandera oleh Hamas, dibicarakan seolah-olah ini merupakan potensi penyebab terjadinya perang dunia, namun Israel, menurutnya, menghancurkan Lebanon karena Hizbullah menyandera 2 tentara IDF, dengan menahan puluhan ribu warga Palestina.

Ceramah Paus Benediktus XVI di Regensburg, yang disampaikan pada 12 September 2006, yang berisi kritik terhadap Islam, berdampak di Gaza, seperti di tempat lain, menyebabkan penyebaran Islam diwarnai ekspresi permusuhan dari mimbar beberapa masjid. Musallam berhasil mendapatkan jaminan dari Mufti Gaza, Ismail Haniyeh, Fatah dan Menteri Dalam Negeri cabang Gaza yang dikelola Hamas untuk meluruskan kesalahpahaman, dan polisi dikirim untuk menjaga dan mengawasi institusi Kristen.

Tahun berikutnya, elemen tak dikenal menyerang biara Suster-suster de Rosary ketika perang saudara antara Fatah dan Hamas berkecamuk pada tahun 2007. Pintu-pintunya diledakkan dengan mortir, ikon-ikon dihancurkan, buku-buku agama dibakar, dan gereja digeledah. Musallam menyesalkan tindakan tersebut sebagai tindakan biadab yang dilakukan oleh orang-orang tak dikenal yang mencoba mengobarkan ketegangan antara Komunitas Islam dan Komunitas Kristen, dan baik Fatah maupun Hamas mengutuk tindakan tersebut, dan Hamas berupaya memperbaiki kerusakan yang terjadi.

Dari tahun 2007 hingga 2014, pemuda di Gaza, katanya, telah mengalami empat kali perang, sehingga sulit untuk mengajari mereka untuk tidak membenci Israel. Kemiskinan absolut menghancurkan kebiasaan menghadiri acara-acara perayaan. Air sangat langka sehingga perempuan yang sedang menstruasi tidak bisa membersihkan diri, begitu pula ayah yang bekerja mencuci setelah seharian bekerja. Anak-anak lalu cenderung bermain permainan perang:

Anak-anak tetap bermain seperti biasa, namun permainan yang terus mereka mainkan secara sistematis adalah permainan perang. Mereka akan membagi diri mereka menjadi dua sisi, dan saling menembak... Keluarga Nassar memiliki 7 anak yang, pada saat mereka bisa meninggalkan rumah, akan mengadakan pertempuran, dan bermain di bawah rumah mereka. Di jalanan, mereka mengecat diri mereka sendiri dengan warna merah dan menyerang siapa pun yang lewat. Mereka dipersenjatai dengan baik, dan memiliki pengetahuan mendalam tentang taktik menyerang dan bertahan. Mereka menjemput mereka yang terluka, menciptakan situasi, dan memindahkan orang-orang yang sekarat ke rumah sakit. Kemudian mereka mengadakan pemakaman, di mana mereka menyimulasikan keputusasaan terhadap orang mati.

Ketika seluruh penjuru Gaza menjadi sasaran serangan udara dan tembakan artileri Israel yang intens selama Operasi Cast Lead pada tahun 2008, Musallam menyebutnya sebagai 'Perang Natal'. Atap rumahnya dihancurkan oleh sebuah rudal; sekolah yang dikelola oleh Suster-suster de Rosario dihantam oleh beberapa rudal Israel dan bom fosfor. Musallam mengeluarkan komunike dari puing-puing berasap yang memprotes cara masyarakat Gaza 'diperlakukan seperti binatang di kebun binatang', menderita kekurangan gizi, trauma, dan ribuan orang yang terluka tidak mendapatkan pertolongan pertama dasar. Pasokan kebutuhan pokok yang diperlukan harus transit 700 truk per hari, sementara hanya 20 yang diizinkan lewat.

Penggunaan gambaran Alkitab

Evaluasi Musallam terhadap konflik Israel-Palestina sering kali mengacu pada gambaran alkitabiah. Musallam mengklaim bahwa warga Palestina menolak keberadaan Israel; kebajikan kemanusiaan apa yang bisa membuat seseorang menerima kehadiran negara yang merusak dan tidak menghormati hak hidup warga Palestina, dan dalam prosesnya menghancurkan kemanusiaan rakyatnya sendiri. Dia memparafrasekan nabi Hosea (Hosea 10:12): 'Taburlah keadilan, tuailah pahala kesetiaan'. Dia membuat analogi negatif dari penutupan perbatasan Gaza-Mesir dengan Pengungsian ke Mesir, di mana setidaknya Yusuf bisa mengangkut si kecil Kristus (kanak-kanak Yesus) ke tempat yang aman dan perlindungan di luar negeri. Musallam berpendapat bahwa Ratapan Yeremia menyoroti apa yang terjadi di Jalur Gaza,

tolong buka Alkitabmu dan baca Ratapan Yeremia. Inilah yang kita semua jalani. Orang-orang menangis, lapar, berusia tiga puluh tahun dan putus asa. Bahkan jika ada makanan yang dijual, orang tidak punya uang untuk membeli makanan. Tentu saja, harga pangan naik dua kali lipat dan tiga kali lipat dalam situasi ini. Mereka tidak punya penghasilan, tidak punya kesempatan mendapatkan makanan dari luar, dan tidak punya peluang mendapatkan uang di Gaza. Tidak ada pekerjaan. Tidak ada mata pencaharian. Tidak ada masa depan. Mereka tidak mempunyai harapan dan banyak orang yang sangat miskin berkeliaran tanpa tujuan dan mencoba mengemis kepada orang lain yang juga tidak punya apa-apa. Sungguh memilukan melihatnya.

Dia menyamakan dampak serangan Israel dalam Operasi The Protective Edge di Gaza pada tahun 2014 dengan dampak 'bom atom', dan menganggap diamnya dunia atas peristiwa itu sebagai hal yang tidak dapat dimaafkan.

Beberapa Pernyataannya yang penting:

Untuk perang, sekejap saja sudah cukup. Perdamaian itu ibarat seorang anak yang mula-mula harus dikandung dalam rahim ibunya, di jantung suatu bangsa, kemudian harus dilahirkan ke dunia dan diawasi setiap saat, jika tidak maka ia akan mati.

Pendudukan adalah dosa dan bentuk terorisme, dan ketika mengandalkan teks Taurat untuk membunuh orang atau menghalau dan mengusir mereka dari tanah mereka, hal itu merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

“Semoga kasih sayang Kristus menghidupkan kembali rasa cinta kita kepada Tuhan meski saat ini berada dalam ‘perawatan intensif’



Sunday, November 19, 2023

Pendudukan Palestina sebagai Sustainable Terrorism

 




Oleh Indro Suprobo


World Food Program yang beroperasi di Gaza melaporkan bahwa sebagian besar warga Palestina berada di jalanan. Mereka hidup tanpa air, tanpa listrik, tanpa bahan makanan. Akses mereka terhadap bantuan tertutup total. Kesaksian para dokter dan tenaga kesehatan menggambarkan tingkat bahaya yang luar biasa bagi keselamatan orang-orang yang sakit, membutuhkan penanganan medis, korban terluka, kaum ibu yang akan melahirkan, anak-anak dan orang-orang yang harus dioperasi, dan para lansia yang membutuhkan perawatan dan penanganan serius.

Pemandangan yang menyentak rasa kemanusiaan, adalah ketika seorang ayah berjalan di antara kerumunan sambil membawa tas plastik yang diangkat di atas tubuhnya. Tas plastik itu tidak berisi roti atau bahan makanan lainnya, melainkan potongan tubuh anaknya yang hancur karena pengeboman dan tertimpa reruntuhan bangunan. Ini adalah sebuah kepedihan yang melukai hati siapapun yang masih memiliki kasih sayang. Ini adalah kenyataan kekejian, kepedihan dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang tak dapat disangkal. 

Hanya ada satu cara untuk menangani semua ini, yakni menghentikan serangan dan membiarkan seluruh elemen kekuatan bantuan dari seluruh penjuru dunia untuk hadir dan menjalankan semua yang dibutuhkan oleh warga Palestina. Namun, satu-satunya cara ini tampaknya menghadapi jalan buntu karena kerasnya sikap elit dan pemegang kebijakan Israel beserta kroni-kroninya, bahwa mereka tak akan pernah menghentikan semua ini sampai terorisme Hamas berakhir dan habis. Dan gempuran bom yang menghancurkan fasilitas kesehatan, tempat mereka yang berada dalam kondisi lemah harus dilindungi, tetap dijalankan dengan dalih bahwa di bawah rumah sakit itu terdapat bunker-bunker persembunyian Hamas dan menjadi pusat operasi terorisme.

Jika mau menelusur secara jujur dan terbuka, kenyataannya sangatlah gamblang dan seluruh dunia telah menyaksikan, bahwa sesungguhnya, kekejian pendudukan dan penindasan terhadap warga Palestina yang terus-menerus dilakukan oleh Israel selama berpuluh-puluh tahun itulah yang sebenar-benarnya lebih pantas disebut sebagai sustainable terrorism, sebuah laku teror yang berkelanjutan tanpa henti. 

Sesungguhnya juga, kekejian pendudukan terhadap Palestina yang merupakan praktik paling nyata dari sustainable terrorism ini merupakan teladan paling kentara dari perilaku teror yang pada akhirnya melahirkan resistensi Hamas. Apa yang dilakukan Hamas adalah hasil dari keteladanan Israel sendiri dalam perilaku teror. Namun bedanya, apa yang dilakukan Hamas, meskipun tak pernah dapat diterima karena juga menghancurkan kemanusiaan, adalah sebuah jeritan dari luka paling dalam dan paling lama sebagai akibat dari kekejian pendudukan, yang merupakan sustainable terrorism itu. Itulah yang sebenarnya disebut sebagai pembelaan diri terhadap semua upaya orang lain yang terus-menerus menghancurkan martabat liyan. 

Oleh karena itu, jika elit Israel dan kroni-kroninya menyatakan bahwa untuk menghancurkan terorisme Hamas mereka harus terus menggempur bunker-bunker yang tersembunyi di bawah tanah-tanah rumah sakit, dengan mengorbankan jiwa warga sipil yang tak berdosa, itu adalah sebuah proyeksi yang semestinya justru menjadi refleksi. Yang paling tepat untuk dinyatakan, untuk menghentikan terorisme, satu-satunya hal yang harus dilakukan adalah menghancurkan nalar-nalar teroris yang justru tersembunyi di bawah kedalaman pikiran dan jiwa-jiwa para elit Israel dan kroni-kroninya itu sendiri. Bunker-bunker nalar teroris di dalam pikiran dan jiwa mereka itulah yang semestinya dihancurkan, dan diganti dengan nalar yang menjunjung penghormatan, kesamaan martabat, perdamaian, dan dukungan terhadap kehidupan liyan. 

Itu semua, secara nyata dilakukan dengan menghentikan seluruh aktivitas pendudukan yang melahirkan kekejian dan sekali lagi merupakan sustainable terrorism yang sejati. 

Menghentikan pendudukan, adalah langkah nyata menghentikan sustainable terrorism paling lama di dunia ini. Lalu, berpalinglah kepada sikap pro-eksisten, hidup berdampingan, membiarkan satu sama lain menemukan jalan pertumbuhan untuk kehidupan yang mulia, damai, penuh martabat dan rasa hormat. Jika itu dilalui, maka jalan-jalan lain yang menuntun kepada lebih banyak kebaikan dan kemuliaan kemanusiaan akan terus-menerus ditemukan. 

Seorang mantan tentara IDF Israel yang terlibat aktif dalam program Breaking the Silence melalui berbagai upaya edukatif, ketika ditanya oleh pewawancara, apakah ia masih mendukung Israel, negaranya sendiri, dengan tegas ia menyatakan bahwa ia mendukung Israel. Ketika ditanya lagi, bagaimana cara kamu mendukung Israel? Dengan tegas ia mengatakan bahwa satu-satunya cara mendukung Israel adalah dengan mendesak terus-menerus agar pendudukan terhadap Palestina itu dihentikan. 

Mengapa demikian? Tampaknya ia telah menyadari bahwa ia adalah saksi di lapangan bahwa pendudukan Paslestina adalah sebenar-benarnya sustainable terrorism.

Sunday, October 15, 2023

MENGHADIRKAN INGATAN SEJARAH, MENGGUGAT KETIDAKADILAN

 


Kompas, 15 Oktober 2023

Oleh Indro Suprobo



Seorang perempuan bernama Eona memiliki kerinduan besar untuk dapat mengunjungi sebuah tempat yang bernama Pantai Penuh Cahaya. Konon, tempat itu menyimpan banyak harta karun yang sangat berharga. Kerinduan itu menjadi kenyataan, ketika sebuah kapal besar bernama Stella Maris (Bintang Laut) membawa Eona berlayar jauh mengarungi lautan menuju pantai impian. Tanpa diduga, ternyata perjalanan mengarungi lautan itu sendiri telah menyediakan harta karun yang harganya tiada terkira.

 

Ia menjumpai banyak peristiwa dan mengenali banyak orang dengan banyak pengalaman. Ia belajar mengendalikan kapal di tengah lautan, belajar cara membaca rangkaian bintang sebagai penunjuk arah dan tujuan, bagaimana bertahan hidup dalam badai dan tantangan lautan, serta mendengarkan banyak cerita dari orang-orang yang dijumpainya.

Baskara T Wardaya menuliskan kisah tentang Eona ini sebagai kisah pembuka dari 20 cerita. Ia menutup kisah pembuka ini dengan satu refleksi penuh makna bahwa yang lebih memukau adalah apa yang tidak kasatmata. Apa itu? Ia adalah kesadaran bahwa sebenarnya harta karun yang dicari itu tidak di pantai tersebut, tetapi justru dalam perjalanan menuju ke sana. Semoga dalam perjumpaan kita dengan berbagai peristiwa dan dengan orang-orang lain, kita menemukan harta karun itu. Eona adalah kita (hlm 4).

Apa yang ditegaskan dalam penutup kisah awal mula ini tampaknya merupakan spiritualitas dasar dari buku Awan Merah, Catatan Sepanjang Jalan, karya Baskara T Wardaya, SJ, sekaligus menjadi spiritualitas dasar dari penulisnya sendiri, baik sebagai sejarawan maupun sebagai seorang Jesuit (anggota Serikat Jesus). Spiritualitas ini menekankan tiga proses utama, yakni mencermati pengalaman atau peristiwa, menemukan pembelajaran penting di dalamnya, dan menentukan pilihan tindakan kontekstual transformatif berikutnya.

Tiga proses utama itu dirumuskan sebagai latihan rohani Santo Ignatius, meliputi pemeriksaan batin (examen conscientiae) atau pembedaan roh (discretio spirituum), memetik buah rohani, dan mengambil langkah hidup baru yang lebih baik (magis). Buku ini ditulis dengan bertolak pada gagasan tentang perlunya praksis eksamen dan semangat magis (hlm 9).

 

Pribadi Pembelajar

Buku ini menyajikan dua puluh kisah yang dinarasikan secara menarik, menggunakan bahasa sederhana dan mudah dicerna, serta melibatkan intensitas pengalaman subyektif penulisnya sehingga terasa menjadi pengalaman yang inspiratif bagi pembaca. Dua puluh kisah yang didedah itu merupakan peristiwa dan pengalaman nyata yang dapat ditemukan dalam perjalanan sejarah.

Seluruh cerita yang disajikan di dalam buku ini sebenarnya boleh dikatakan sebagai catatan tentang menjadi Eona, sebagaimana diceritakan dalam kisah pembuka. Secara jelas penulis mengemukakan hal ini ketika menyatakan bahwa buku ini adalah buku tentang kita, yakni kita sebagai orang-orang yang ingin bersama-sama belajar dari pengalaman-pengalaman kehidupan. Sarananya adalah melalui ingatan sejarah, melalui refleksi atas peristiwa-peristiwa tertentu, serta melalui pengenalan atas pribadi-pribadi yang kebetulan kita jumpai di sepanjang perjalanan. Bersama-sama kita akan menemui dan bercakap-cakap dengan mereka (hlm 7-8).

Dengan menulis dan menerbitkan buku ini, sebenarnya Baskara sendiri sedang menjalani laku menjadi Eona, pribadi pembelajar yang mencermati pengalaman dan peristiwa beserta orang-orang yang dijumpai. Seluruh cerita yang dikisahkan dan pengalaman yang direfleksikan bagaikan perjalanan menuju Pantai Penuh Cahaya, yang menyediakan harta tak terkira. Sebagaimana Eona yang setelah kembali dari perjalanan menuju Pantai Penuh Cahaya itu berbagi pengalaman kepada orang-orang di desanya (hlm 317-318), demikianlah juga penulis, melalui buku ini menjadi Eona yang kembali ke desa dan berbagi kepada kita semua agar menjadi Eona, menjadi pribadi pembelajar melalui perjalanan kita masing-masing.

Buku Awan Merah, Catatan Sepanjang Jalan merupakan sebuah ajakan sekaligus praksis nyata untuk menjadi pribadi pembelajar. Melalui buku ini, Baskara menyajikan keteladanan kepada pembaca sekaligus mengajak untuk berani menjadi Eona.

 

Membagikan Ingatan

Ajakan untuk menjadi Eona membutuhkan keberanian untuk senantiasa belajar dari pengalaman dan peristiwa, merefleksikan nilai dan maknanya, dengan cara memanggil kembali ingatan atau memoria. Ada ingatan atau memoria yang ketika dipanggil kembali selalu dapat melahirkan luka. Ia dapat berupa ingatan tentang pengalaman pribadi ataupun pengalaman sosial kolektif. Ingatan yang dapat menghasilkan luka itu terutama adalah ingatan tentang tragedi manusia yang pernah terjadi di dunia. Yang sangat mendalam dan mengakar lukanya adalah apa yang disebut genosida. Tragedi Auschwitz (Auschwitz I, II, dan III) di Polandia dan tragedi 1965 di Indonesia merupakan dua contohnya (Bab 15 dan Bab 20 dalam buku ini).

Selain itu, dalam kenyataan, tidak semua ingatan dapat dengan bebas dipanggil ulang untuk dikisahkan. Salah satunya disebabkan oleh adanya represi dari kekuasaan karena dianggap bahwa ingatan itu dapat mengguncangkan kemapanan yang menjagai kepentingan. Ingatan yang direpresi oleh kekuasaan dan tak boleh dipanggil ulang karena dianggap dapat mengguncangkan kemapanan ini disebut sebagai ingatan yang membahayakan (periculosa memoria).

Sejatinya, ingatan jenis ini adalah ingatan tentang luka dan penderitaan (memoria passionis), yang dimiliki oleh semua orang yang dipaksa kalah dalam perjalanan sejarah, dipinggirkan dan dihilangkan dalam perjalanan kehidupan. Baskara T Wardaya mengutip pernyataan Elie Wiesel yang mengatakan bahwa ingatan akan penderitaan itu adalah ingatan kolektif yang tak boleh dirampas dari generasi berikutnya (hlm 279).

Ingatan-ingatan itu ”menggugat” kesewenangan, ketidakadilan, ketidakpedulian dan rasa aman. Oleh karena itu, ingatan-ingatan semacam ini sangat diperlukan untuk membongkar ketidakpedulian yang mapan, mengakhiri kecenderungan kesewenang-wenangan yang terus berlanjut, dan untuk meruntuhkan mitos yang melumpuhkan sikap kritis serta melanggengkan kebohongan. Johann Baptist Metz, seorang teolog politik Katolik Jerman, menyatakan bahwa penderitaan orang lain merupakan undangan bagi orang beriman untuk membebaskan diri dari segala bentuk ketidakpedulian. Terbebas dari ketidakpedulian itulah yang disebut sebagai compassion.

Mengisahkan kembali memoria passionis ini merupakan salah satu upaya melakukan counter terhadap segala bentuk konstruksi memoria yang dilakukan oleh kekuasaan untuk mengamankan kepentingan. Konstruksi memoria oleh kekuasaan juga merupakan praktik konstruksi wacana yang diskriminatif, yang melahirkan tindakan kekerasan dan penderitaan, menempatkan martabat kemanusiaan di pinggiran.

Mengisahkan kembali ingatan akan penderitaan dan menjagai ingatan-ingatan itu merupakan salah satu gerakan pendidikan kritis bagi generasi kemudian, yang membangkitkan pertanyaan tentang ketidakadilan serta melahirkan kepedulian. Terutama pada bab 20, buku ini mengisahkan berbagai upaya nyata untuk menjagai ingatan akan penderitaan dan ketidakadilan itu.

Baskara adalah salah satu aktivis ingatan dari Indonesia yang ikut terlibat menulis salah satu babak dalam buku The Routledge Handbook of Memory Activism. Upaya menjagai ingatan ini, pada gilirannya juga merupakan langkah nyata untuk membangun pengetahuan dari bawah, yakni pengetahuan dari masyarakat sendiri, terutama mereka yang mengalami peristiwa, bukan pengetahuan yang dikonstruksi oleh kekuasaan (hlm 290-291). Ini semua boleh disebut sebagai gerakan pendidikan kritis berbasis pengalaman.

 

Mengapa Awan Merah

”Awan Merah” merupakan salah satu judul bab dalam buku ini, yang mencerminkan sikap dasar dari seluruh isi buku, yakni keberanian untuk bersikap jujur, bersikap kritis, berani mengakui kesalahan dan kekeliruan pada masa lalu, memiliki keikhlasan untuk meminta maaf dan mengambil langkah baru yang transformatif dan rekonsiliatif demi semakin terciptanya keadilan, perdamaian, dan pertumbuhan kemanusiaan.

Bagian berjudul ”Awan Merah dan Pentingnya Sekolah” sebenarnya merupakan refleksi kritis para Jesuit terhadap pengalaman masa lalu, ketika terlibat dalam program asimilasi Pemerintah Amerika Serikat, sehingga praktik pendidikan yang dijalankan para Jesuit kepada generasi muda suku Sioux justru melahirkan luka karena mencerabut mereka dari akar-akar kebudayaan mereka sendiri. Menyadari kesalahan itu, para Jesuit mengubah seluruh metode pendidikan itu secara radikal.

Baskara menegaskan bahwa keberanian dan kejujuran terhadap pengalaman, ingatan, dan sejarahnya sendiri akan membantu setiap subyek untuk melangkah ke depan secara lebih sehat dan tegap (hlm 292). Eona adalah kita.


Sunday, June 11, 2023

Infrastruktur sebagai Aliran Keuntungan yang Dijamin Kontrak Jangka Panjang




Oleh Indro Suprobo

Buku aseli karya Nicholas Hildyard dalam versi bahasa Inggris diberi judul Licensed Larceny, Infrastructure, Financial Extraction and Global South. Atribut Licensed dalam judul ini, setelah ditelusur maknanya melalui seluruh isi pembahasan buku, dapat ditemukan dalam ungkapan yang sering ditegaskan oleh penulis sebagai aliran pendapatan atau keuntungan yang pasti dan dijamin oleh kontrak jangka panjang. Pemaknaan ini pula yang oleh penulis diungkapkan sebagai kacamata yang dipakai oleh dunia keuangan, yang tak pernah dipakai atau dipahami oleh siapapun yang berada di luar dunia keuangan. Oleh karena itu, secara tegas buku ini hendak menyatakan bahwa dalam kaca mata dunia keuangan, infrastruktur adalah aliran-aliran pendapatan dan keuntungan yang pasti dan dijamin oleh sebuah kontrak dalam jangka panjang. Dengan demikian infrastruktur bukanlah sekedar penampakan-penampakan berupa jalan tol, jalur kereta api, bangunan pelabuhan, bandara, bendungan, rumah sakit dan sebagainya. Lebih dari penampakan-penampakan luar itu, dalam kacamata keuangan, infrastruktur adalah seluruh proses aliran laba yang diperoleh di balik semua penampakan luaran itu. Dengan demikian, atribut Licensed dalam judul aseli buku ini dapat dimaknai sebagai "dijamin oleh sebuah kontrak legal dalam jangka panjang". Maka, Licensed Larceny dapat dimaknai sebagai proses perampokan atau penjarahan yang dijamin oleh sebuah kontrak legal dalam jangka panjang. Sebuah judul buku yang sangat lantang!

Buku ini dilandasi oleh keprihatinan terhadap begitu banyak-nya orang di seluruh dunia yang terkena dampak buruk oleh proyek-proyek infrastruktur skala besar. Dalam keprihatinan itu, buku ini berupaya memahami seperti apakah kompleksitas keuangan modern itu dan kaitannya dengan akumulasi. Maka buku ini awalnya menelisik tentang keuangan sebagai industri ekstraktif, sebuah pendekatan yang sebenarnya telah dirintis oleh Karel Williams, Profesor Akuntansi dan Ekonomi Politik di Manchester Business School, melalui lembaganya yang bernama Centre for Researh on Socio-Cultural Change (CRESC). Naskah aseli buku ini berangkat dari sebuah paper yang disiapkan oleh Nicholas Hilyard kepada para mahasiswa asuhan Karel Williams dalam suatu kuliah, tentang hubungan antara model kerjasama kemitraan Publik-Swasta (Public-Private Partnership), Ekstraksi Keuangan, dan Ketidakadilan. 

Pertanyaan inti yang ditelusuri dan hendak diuraikan oleh buku ini adalah bagaimanakah sebenarnya mesin ketidakadilan, yang disebut sebagai ekstraksi keuangan yang terlembagakan itu bekerja sehingga sekelompok elit orang kaya tetap mengeruk kekayaan dan sebagian besar orang di seluruh dunia harus menanggung dampak buruknya. Skema kemitraan Public-Private Partnership adalah salah satu wujud pelembagaan mesin ekstraksi keuangan yang melahirkan ketidakadilan dan ketimpangan itu. 

Skema Buku

Buku ini terdiri dari 6 bab. Bab 1 merupakan gambaran besar tentang ketimpangan yang terjadi di seluruh dunia dan penekanan tentang perlunya menganalisis mesin ekstraksi keuangan yang mengakibatkan ketimpangan itu secara lebih detail agar dapat memberikan respon yang tepat dan strategis. 

Bab 2 memberikan contoh konkrit bagaimana infrastruktur sebagai ekstraksi keuangan dalam kasus proyek pembangunan rumah sakit Queen Mamohato Memorial Hospital di Lesotho, melalui skema kemitraan Public-Private Partnership. Dalam bab ini penulis menelusur dari manakah uang yang digunakan untuk proyek itu berasal, siapakah yang paling diuntungkan dan siapakah yang menanggung kerugian, serta seperti apakah indikator atau petunjuk konkrit dari penjarahan keuntungan itu. Di dalamnya ditunjukkan bahwa ekstraksi keuangan yang merupakan perampokan atau penjarahan itu sah adanya. 

Bab 3 menegaskan bagaimana cara keuangan memandang insfrastruktur. Bagian ini memanfaatkan kasus rumah sakit Mamohato pada bab 2 untuk menunjukkan secara lebih detail bahwa di hadapan keuangan, infrastruktur adalah suatu aliran keuntungan yang stabil dan terjamin dalam suatu kontrak resmi, salah satunya melalui skema kemitraan Public-Private Partnership. Ruang sempit yang dibuka untuk sektor swasta dalam layanan publik ternyata telah memungkinkan keuangan untuk mengembangkan mesin ekstraksi milyaran dollar yang berisiko menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan.

Bab 4 memaparkan sarana-sarana investasi lain di luar skema kemitraan Public-Private Partnership yang digunakan dan dikembangkan untuk mengeruk kekayaan yang juga melahirkan ketimpangan. Sarana-sarana itu meliputi pendanaan, konsruksi dan operasi infrastruktur.

Bab 5 mencoba memaparkan kekuatan struktural di balik kemunculan infrastruktur sebagai kelas aset dan kerentanan modal yang menyertainya. Bagian ini memberikan contoh nyata bagaimana proyek infrastruktur besar-besaran di seluruh dunia sedang direncanakan dan dikembangkan, yang disebut sebagai koridor infrastruktur. Salah satu analisis yang juga memberikan wanti-wanti (warning) adalah bahwa koridor-koridor infrastruktur seluruh dunia itu membutuhkan dana yang luar biasa besar yang bahkan tak dapat disediakan oleh gabungan lembaga keuangan manapun, dan mulai mengancam lembaga-lembaga asuransi dana pensiun. Ini artinya ada ancaman yang serius bagi para pekerja di seluruh dunia karena tabungan-tabungan pensiun yang diangsurnya dengan kerja keras dan kesulitan itu terancam untuk diekstraksi dan sekali lagi hanya menguntungkan segelintir orang kaya, yang semakin kaya. 

Bab 6 secara khusus menguraikan tantangan konkrit yang dihadapi oleh gerakan sosial untuk memberikan respon strategis terhadap rekonfigurasi infrastruktur semacam ini. Upaya menghadapi lintasan pendanaan infrastruktur kontemporer beserta ketimpangan dan ketidakadilan yang ditimbulkannya, akan lebih membuahkan hasil apabila merupakan bagian dari upaya yang lebih luas untuk membangun dan memperkuat perlawanan yang berfokus kepada kepentingan bersama dalam menghadapi proses akumulasi. Telah terjadi pelemahan terhadap gerakan sosial tradisional yang berupaya mendorong perubahan sosial secara lintas sektoral, sehingga terpecah-pecah dalam isu sektoral tunggal yang dikerjakan oleh organisasi-organisasi non pemerintah, yang banyak di antaranya telah menjadi waralaba semi-korporat karena hubungannya dengan basis politiknya, terutama didorong oleh penggalangan dana. Bagian ini tampaknya perlu menjadi bahan refleksi lebih lanjut bagi lembaga-lembaga non pemerintah agar respon yang diambil merupakan respon yang jauh lebih tepat dan strategis, yakni sungguh-sungguh membidik kepada akar perlawanan dan akar perubahan jangka panjang. 

Konstruksi Pengetahuan yang Menyembunyikan Kepentingan

Terkait dengan kekerasan aliran keuntungan yang terikat kontrak, penulis buku ini memberikan kutipan yang menarik (hlm.32-33). Salah satu bagian kutipan yang pantas diperhatikan adalah ini:

"Ketika keuangan bergeser untuk mengambil untung dari bidang perawatan sosial yang sebelumnya sebagian besar merupakan kewenangan keluarga dan masyarakat, cara orang memandang satu sama lain dan diri mereka sendiri juga ikut berubah. Hasil kajian oleh para ekademisi seperti Paula Hyde dari Durham University telah mendokumentasikan bagaimana, untuk mengubah orang lanjut usia menjadi sarana aliran pendapatan jangka panjang, sikap masyarakat terhadap orang lanjut usia harus dibentuk dan para lansia harus mulai mendefinisikan diri mereka sendiri bukan berdasarkan kehidupan mereka melainkan berdasarkan kesehatan mereka yang buruk. Jika mereka harus tinggal di panti jompo, mereka harus dicerabut dari kehidupann mereka sebelumnya dan rasa kebebasan mereka terus-menerus dihancurkan mellalui praktik-praktik yang dilembagakan."

Kutipan ini memberikan insight kepada kita bahwa konstruksi pengetahuan tentang lanjut usia itu juga mengandung kepen-tingan yang oleh penulis buku ini bahkan disebut sebagai sebuah kekerasan. Barangkali ini boleh disebut sebagai kekerasan kognitif. Pernyataan paling krusial dalam kutipan itu adalah ba-gaimana mengarahkan agar orang-orang yang lanjut usia itu mendefinisikan diri mereka sendiri bukan berdasarkan kehidupan mereka, melainkan berdasarkan kesehatan mereka yang buruk. Dengan demikian, mereka akan merasa membutuhkan layanan kesehatan dan layanan sosial yang termasuk dalam layanan publik, yang seluruh infrastrukturnya itu dikerjakan dalam skema public-private partnership, yang secara gamblang oleh penulis disebut sebagai mesin ekstraksi keuangan, yakni mesin yang secara stabil menghasilkan aliran keuntungan melalui jaminan kontrak jangka panjang. 

Oleh karena itu, model-model pendidikan kritis dan pengenalan terhadap wacana-wacana sosial kritis, melalui pengenalan metode critical discourse analysis (analisis wacana kritis) dan perangkat keilmuan lainnya yang mendukung sikap kritis terhadap proses konstruksi bahasa dan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari, menjadi sesuatu yang penting dan sangat dibutuhkan. Ini merupakan tantangan baik bagi kaum pergerakan sosial maupun kaum akademisi di berbagai perguruan tinggi. Peringatan para analis critical discourse analysis bahwa bahasa (dan pengetahuan) itu tidak netral karena di dalamnya selalu tersembunyi ideologi atau kepentingan, sangat pentas untuk diperhatikan. 

Konteks Indonesia

Khusus tentang koridor infrastruktur dalam konteks Indonesia, paparannya secara sangat singkat dapat ditemukan di dalam halaman 96-97. Kutipan tentang itu adalah sebagai berikut:

Di Indonesia, secara ambisius enam koridor direncanakan akan selesai dalam 15 tahun, yakni Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia senilai $1 triliun, yang dikenal sebagai MP3EI, tetapi kemungkinan akan diganti namanya (meskipun tidak berubah secara substansial) yang merupakan bagian yang ditinjau ulang menyusul adanya protes besar oleh gerakan sosial (AwasMIFEE 2015; Republik Indonesia 2011; Departemen Luar Negeri AS 2013; Assegaf dan Wiriasmoko 2013). Lebih dari 1.000 proyek infrastruktur dan logistik direncanakan, termasuk jalan raya, rel kereta api (khususnya untuk meng-angkut batu bara), bandara dan pelabuhan, dengan tujuan 'meningkatkan arus barang, jasa dan informasi, mengurangi biaya logistik dan mengurangi inefisiensi biaya' (Bappenas 2011 ). Masing-masing dari enam koridor interkoneksi dipusatkan pada pengembangan industri utama atau sumber daya alam (terutama batubara dan minyak sawit) melalui pusat-pusat manufaktur terkelompok dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) (lihat Bagan 5.3). Koridor Jawa, misalnya, telah diberi tugas sebagai ‘Penggerak Penyediaan Industri dan Jasa Nasional’; koridor Kalimantan yang menjadi ‘Pusat Produksi dan Pengolahan Pertambangan dan Cadangan Energi Nasional’; dan koridor Sumatera telah ditetapkan sebagai ‘Pusat Produksi dan Pengolahan Sumber Daya Alam dan Cadangan Energi Bangsa’ (Bappenas 2011). Mengomentari dampak di lapangan, yang mencakup perampasan tanah besar-besaran karena perusahaan berusaha memperluas produksi minyak sawit, pertambangan batu bara, dan industri ekstraktif lainnya, aktivis Indonesia Hendro Sangkoyo secara terus terang mengatakan: ‘Ini adalah perang kelas yang brutal di luar sana’ (Sangkoyo 2015a). Sedang dilakukan juga pe-rencanaan tentang koridor laut untuk menghubungkan pulau-pulau di kepulauan Indonesia, sebuah program yang sedang dipromosikan oleh Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) sebagai bagian dari 'sistem jalan raya laut' yang lebih luas di seluruh Asia Tenggara yang direncanakan di bawah 'Rencana Utama Konektivitas ASEAN' (ASEAN 2010; Shekhar dan Liow 2014). Militerisa-si jalur laut yang diusulkan ini dan pengucilan nelayan lokal sudah diantisipasi.

Menghadapi tantangan itu, dibutuhkan kajian lebih serius dan mendalam dari kaum pergerakan sosial dan akademisi agar dapat menemukan wajah aseli dari seluruh proyek itu, dan mengidentifikasi siapa yang benar-benar diuntungkan dan siapa yang benar-benar menanggung dampak buruknya. Sikap kritis terhadap konstruksi wacana atau pengetahuan yang menyertai-nya perlu mendapatkan perhatian dan dijalankan.

Semoga buku kecil ini membantu semua elemen gerakan sosial di Indonesia untuk lebih detail membaca fenomena pem-bangunan infrastruktur yang sedang digalakkan. Seluruhnya memang dikonstruksikan dengan wacana tentang "demi mening-katkan layanan publik", namun sangat dibutuhkan analisis lebih detail dan kritis tentang siapakah yang benar-benar diuntungkan karena penulis buku ini, berdasarkan kajian panjang di berbagai belahan dunia, sudah secara lantang memberikan peringatan bahwa infrastruktur adalah kendaraan yang super tangguh bagi proses akumulasi (hlm.34), yang dalam judul buku ini dirumuskan sebagai perampokan atau penjarahan yang stabil dan dijamin oleh kontrak legal dalam jangka panjang. Itulah sebabnya ia disebut sebagai penjarahan terselubung. ***


Indro Suprobo, Penerjemah Buku

Saturday, April 22, 2023

Mengelola Perbedaan berdasarkan Prinsip Pro-eksistensi

Foto: Prayogi/Republika


 Oleh Indro Suprobo

Realitas Kemajemukan

Salah satu kenyataan sekaligus anugerah kehidupan yang tak dapat disangkal oleh masyarakat Indonesia adalah kenyataan dirinya sebagai masyarakat yang diwarnai oleh kemajemukan. Kemajemukan itu terbentang dalam wilayah yang luas dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai ke Pulau Rote. Dalam bentangan wilayah yang luas itu, masyarakat Indonesia memiliki paling sedikit 300 suku bangsa,[1] bahkan versi lain menyatakan 750 suku bangsa.[2] Dengan demikian ia juga memiliki paling sedikit 300 atau 750 agama dan keyakinan lokal yang mendasari kerangka berpikirnya dalam membangun makna kehidupan, memiliki ratusan bahasa sekaligus cara berpikir serta kearifan-kearifan lokal.

Kenyataan kemajemukan yang sedemikian ini pantaslah dipahami karena dalam sejarahnya, manusia Indonesia berasal dari paling tidak empat gelombang migrasi leluhur.[3] Empat gelombang itu pertama, 50-45 ribu tahun silam, ketika manusia modern (dari subsahara Afrika) masuk lewat jalur darat selatan Asia. Saat itu Sumatera, Kalimantan dan Jawa masih merupakan satu daratan yang disebut Paparan Sunda. Bali dan Lombok sudah terpisah oleh selat yang dalam. Gelombang kedua, 35-16 ribu tahun silam, manusia dari daratan Indocina masuk melalui jalur darat. Pada masa ini, Paparan Sunda masih merupakan satu daratan. Gelombang ketiga, 5000-4000 tahun silam, manusia rumpun bahasa Austronesia (dan austroasiatik) dari Cina Selatan dan Taiwan menyebar ke kepulauan bagian barat dan timur. Gelombang keempat, 2000 tahun silam, mulai abad ketiga hingga abad 13 kelompok pro asiatik, India, China dan Arab masuk ke kepulauan. Terjadilah persebaran agama dan budaya Hindu, Budha dan Islam. Kenyataan bahwa manusia Indonesia memiliki asal-usul dari minimal empat gelombang migrasi leluhur ini, membuat manusia Indonesia itu sebagai manusia dengan campuran beragam genetika.[4] Artinya, bahkan sejak dari dalam dirinya sendiri, setiap individu manusia Indonesia itu sudah mencerminkan kemajemukan yang luar biasa. 

Dengan demikian, manusia Indonesia adalah manusia yang sejak dari awalnya terlempar di dalam kenyataan kemajemukan. Kemajemukan itu mau tidak mau menjadi realitas kontekstual dirinya yang merupakan anugerah, tak dapat diubah, hanya dapat diterima, diakui dan dihormati apa adanya, serta menantang untuk dikelola secara arif bijaksana. Realitas kemajemukan ini juga sudah sepantasnya menjadi landasan dalam membangun kerangka berfikir visional untuk menenun kehidupan bersama di masa depan. 


Prasangka sebagai Tantangan

Tantangan dan halangan paling utama yang dihadapi oleh masyarakat majemuk adalah prasangka. Prasangka adalah cara berpikir dan bersikap buruk terhadap orang atau kelompok lain, tanpa mengevaluasinya secara kritis dan tanpa disertai dengan pembuktian empiris. Prasangka menghalangi individu dan masyarakat untuk melihat orang lain secara apa adanya, sesuai dengan realitas diri mereka. Prasangka, atau berburuk sangka (su’u al dzan) merupakan pangkal dari tindakan buruk lainnya, seperti membenci, memperolok-olok, mengejek, merendahkan, bullying atau perundungan, menyebar ujaran kebencian (hate speech), memproduksi berita bohong (hoax atau fake news), serta menolak keberadaan dan kehadiran orang lain yang berbeda.[5] Sebagai sebuah cara berpikir dan bersikap negatif terhadap orang atau kelompok lain, prasangka pada umumnya adalah akibat dari relasi sosial yang terluka, namun tanpa terapi dan tanpa penyembuhan maupun rekonsiliasi, sehingga terakumulasi menjadi penilaian buruk satu sama lain yang bersifat akut, dan bisa termanifestasi dalam kekerasan. Di dalam diri setiap orang atau masyarakat, prasangka hampir beroperasi sebagai mitos, yang kebenarannya seringkali tak dipertanyakan lagi karena ia lebih berkaitan dengan keyakinan dan emosi, bukan sesuatu yang bersifat rasional. Prasangka lebih banyak bekerja di dalam wilayah tak sadar, bukan di wilayah kesadaran. Dalam proses pembentukannya, prasangka pada umumnya merupakan buah dari habitus, yang direproduksi melalui sebuah proses pembiasaan yang panjang, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, komunitas-komunitas pergaulan, bahkan juga melalui grup-grup media sosial yang berkembang seperti sekarang ini. Pada gilirannya, prasangka juga melahirkan stigma terhadap kelompok lain yang berbeda.

Di dalam diri setiap individu atau masyarakat, prasangka tentang kelompok lain itu, cara bekerjanya hampir seperti ilusi Muller-Lyer, di mana kesan, keyakinan dan emosi lebih mendominasi dalam membentuk “kebenaran ilusif” sehingga penjelasan-penjelasan alternatif berdasarkan fakta tak lagi memiliki daya untuk membentuk alternatif kebenaran.[6] Ketika seseorang atau masyarakat telah meyakini bahwa orang atau kelompok tertentu itu buruk, maka penjelasan apapun yang berkaitan dengan orang atau kelompok tertentu itu tak memiliki daya untuk mengubah keyakinan itu. Ilusi Muller-Lyer dapat dilihat di dalam gambar di bawah ini.


Di dalam gambar ilusi Muller-Lyer ini, tampak bahwa garis yang berada di sebelah kiri seolah-olah lebih panjang daripada gambar garis yang ada di sebelah kanan. Meskipun subyek sudah diberitahu bahwa kedua garis itu sebenarnya sama panjang, namun di dalam persepsi subyek, garis yang sebelah kiri tetap saja tampak lebih panjang daripada garis yang sebelah kanan. Dengan demikian gambar ini memberikan “kebenaran ilusif” kepada subyek bahwa garis yang sebelah kiri lebih panjang daripada yang lain. Demikian pulalah prasangka tentang orang atau kelompok lain itu bekerja di dalam pikiran. Prasangka itu membangun kebenaran ilusif tentang orang lain meskipun kenyataan orang lain itu bisa sama sekali berbeda dengan kebenaran ilusif yang sudah diyakini ini. Seringkali, meskipun telah diberi tahu bahwa kenyataan orang lain itu tidak seperti yang telah diyakininya itu, individu atau subyek memiliki kesulitan besar untuk mengubah keyakinan ilusif yang telah bercokol di dalam dirinya. Unsur-unsur emosionalnya jauh lebih dominan dan memengaruhi pembentukan keyakinannya. Maka dapat dikatakan bahwa prasangka adalah ilusi Muller-Lyer yang beroperasi di dalam relasi sosial manusia.

Dalam perspektif psikoanalisis, prasangka dapat dirumuskan sebagai sebuah fantasi yang dimiliki oleh suatu kelompok tentang adanya kenikmatan yang dicuri (the theft of enjoyment) oleh kelompok lain yang berbeda, sehingga kenikmatan yang dimilikinya itu berkurang atau bahkan hilang. Sementara kelompok lain yang berbeda itu dinilainya sebagai mengenyam seluruh kenikmatan bahkan secara berlebihan.[7] Dalam konteks ini, kehadiran kelompok lain yang berbeda (agama, etnik, suku, kaum pendatang dsb) difantasikan sebagai melahirkan ancaman dan gangguan baginya. Yang dimaksud dengan kenikmatan dalam hal ini bisa berupa apa saja, bisa akses ekonomi, politik, sosial, budaya dan sebagainya. Kehadiran kelompok lain dengan segala keunikannya (bahasa, cara berpakaian, makanan, kebiasaan harian dsb) melahirkan perasaan terancam dan memunculkan fantasi bahwa kelompok lain tersebut telah merebut seluruh kenikmatan yang semestinya dimiliki oleh kelompoknya sendiri. Fantasi ini menimbulkan sikap antipati dan penolakan, bahkan dapat melahirkan tindakan kekerasan yang menghancurkan kemanusiaan. Sekali lagi, dalam perspektif ini, prasangka adalah sebuah fantasi tentang tercurinya kenikmatan suatu kelompok oleh kehadiran kelompok lainnya yang berbeda. Di mana kelompok lain yang berbeda itu dianggap memiliki kenikmatan yang berlebih (surplus of enjoyment), sementara kelompoknya sendiri mengalami kehilangan kenikmatan (the lack of enjoyment).


Perlunya Pro-eksistensi dan Sikap Kritis

Menghadapi prasangka yang berkembang di antara masyarakat majemuk, yang cara bekerjanya lebih banyak didominasi oleh emosi dan berada dalam wilayah ketaksadaran, yang sangat dibutuhkan adalah dua hal yang tak terpisahkan, yakni menumbuhkan dan membiasakan sikap kritis serta menjalankan prinsip pro-eksistensi. Sikap kritis adalah kemampuan untuk mempertimbangkan, mempertanyakan, mengambil jarak, menunda persetujuan, mengevaluasi dan meneliti suatu pengetahuan, informasi, cara berpikir, sikap, maupun tindakan yang pada umumnya begitu saja diterima sebagai kebenaran (taken for granted) sehingga menemukan kepentingan atau ideologi yang tersembunyi di dalamnya. Informasi, bahasa, rumusan, pengetahuan, tuturan, pernyataan, cara berpikir, penggunaan istilah selalu merupakan sebuah konstruksi dari produsennya dan mengonstruksi orang lain untuk memercayai dan menyetujuinya serta menggunakannya. Bahasa itu tidak netral sehingga senantiasa perlu disikapi secara kritis agar ditemukan unsur kepentingan dan kekuasaan yang tersembunyi di dalamnya.[8] Sikap kritis adalah cara berpikir yang mampu menyingkapkan fenomena-fenomena tersembunyi atau melampaui asumsi-asumsi yang hanya berdasarkan “common sense” (anggapan umum) dalam istilah Antonio Gramsci (1971).[9] Langkah pertama sikap kritis adalah “menunda persetujuan” terhadap segala macam informasi, dan mempertanyakan asal-usul atau konteks sebagai langkah verifikasi. Mengedepankan “proses berpikir rasional”, mengutamakan informasi berbasis data, siap mempertanyakan setiap informasi dan menunda keyakinan terhadapnya (constant self-questioning, move outside the framework), dan berupaya membedakan antara constructed-fictional-reality dan factual-reality.

Melalui sikap kritis ini, individu dan masyarakat akan semakin sanggup untuk membebaskan diri dari beragam prasangka yang bercokol di dalam dirinya, sehingga semakin sanggup memahami dan menerima kelompok lain secara apa adanya, lengkap dengan seluruh perbedaan yang dimilikinya. Melaluinya, individu dan masyarakat yang hidup dalam kemajemukan akan dibebaskan dari fantasi tentang kelompok lain yang mencuri atau merebut kenikmatannya (enjoyment), dan dibebaskan dari perasaan terancam oleh kehadiran orang lain yang berbeda. Dengan demikian, individu dan masyarakat akan lebih dewasa dan sanggup melawan beragam konstruksi wacana diskriminatif (discriminatory discourse) yang cenderung melahirkan stigma dan perpecahan di dalam kehidupan, yang memiliki potensi sangat besar untuk menghancurkan kemanusiaan. 

Sikap kritis justru akan melahirkan kesanggupan untuk membangun imajinasi tentang liyan sebagai pribadi yang sama dengan dirinya sendiri. Ia sanggup membangun kemampuan berpikir dan membayangkan bahwa orang lain yang dilukai itu adalah orang seperti diri kita sendiri. Imajinasi yang bijak tentang orang lain sebagai yang sama dengan diri kita sendiri, merupakan pertahanan yang paling penting untuk melawan dorongan manusia yang keras untuk melakukan kejahatan. Kesanggupan membangun imajinasi bahwa orang lain yang kita lukai adalah orang yang sama seperti diri kita sendiri, adalah satu-satunya pertahanan kita yang berarti untuk menghadapi fiksi beracun yang mereduksi dunia keragaman menjadi ideologi tunggal dan sama. Karena ideologi yang paling berbahaya bergantung pada upaya menciptakan musuh yang tetap dan tak berubah.[10] Sikap semacam ini secara sangat singkat dirangkum oleh kaidah emas (the golden rule) yang terkenal itu yang berbunyi “Jangan lakukan kepada orang lain, sesuatu yang kau tidak ingin orang lain melakukannya pada dirimu”.

Pada gilirannya sikap ini akan melahirkan apa yang disebut sebagai sikap pro-eksistensi. Secara sederhana sikap pro-eksistensi adalah sikap hidup bersama yang memandang orang atau kelompok lain sebagai sesama yang setara dan memiliki martabat yang sama dengan diri atau kelompok kita sendiri, yang terwujud dalam sikap dan tindakan nyata untuk secara damai dan empatik ikut terlibat menjadi bagian dalam usaha menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh kelompok lain itu, serta secara adil menjamin dan membela hak-hak kelompok yang berbeda terutama ketika hak asasi kelompok yang berbeda itu sedang terancam. Dalam prinsip ini terkandung nilai dan sikap “damai sejak dalam pikiran”, kesetaraan, inklusi, terlibat, empati, dan pembelaan (advocacy). Dalam prinsip ini, masyarakat yang hidup bersama dalam banyak perbedaan seperti masyarakat Indonesia, secara aktif saling memandang yang lain sebagai sesama yang setara dan bermartabat, serta berupaya saling melindungi agar masing-masing dapat menghidupi keunikannya dalam kedamaian

Ini berarti bahwa ketika orang atau kelompok lain yang berbeda sedang menghadapi persoalan di mana hak-haknya sedang dilanggar, individu dan masyarakat yang ada di sekitarnya secara damai dan empatik menempatkan dirinya sebagai bagian dari kelompok itu, menempatkan dirinya dalam posisi kelompok yang berbeda itu, dan bersama-sama terlibat aktif membantu menyelesaikan masalah yang dihadapinya sehingga hak-haknya dipulihkan dan tidak ada lagi pelanggaran. Perbedaan-perbedaan, bahkan yang krusial sekalipun, tidak menghalangi individu dan masyarakat yang bersikap pro-eksisten untuk membela dan membantu kelompok yang berbeda, yang hak-haknya sedang terancam oleh pelanggaran. Di dalam prinsip pro-eksistensi ini, terdapat solidaritas dan empati, atau apa yang akhir-akhir ini sedang dikembangkan oleh Karel Armstrong, yakni compassion, belarasa (bahasa Latin compassio berasal dari kata kerja dasar compatire, artinya bersimpati, atau ikut menderita, ikut merasakan penderitaan).


Pro-eksistensi dan Tepa Salira

Di dalam khasanah kebudayaan Jawa pada umumnya dan masyarakat Yogyakarta khususnya, prinsip pro-eksistensi ini barangkali setara dengan apa yang disebut sebagai tepa salira. Secara sederhana sikap tepa salira ini dipahami sebagai sikap menempatkan (anepakaken) diri (salira) ke dalam diri orang lain (saliraning sesami), sehingga dapat merasakan seluruh duka, kecemasan, kegembiraan, harapan, penderitaan, kesulitan, dan keputusasaan yang dialami oleh orang lain itu sebagai pengalamannya sendiri. Melalui sikap tepa salira ini, penderitaan dan kesusahan orang lain yang hak-haknya sedang dilanggar oleh pihak lain, menjadi penderitaan dan kesusahan dirinya sendiri juga. Individu dan masyarakat yang menjalankan sikap tepa salira ini adalah individu dan masyarakat yang sanggup manjing ajur ajer ing saliraning liyan utawi sesami. 

Bagi masyarakat Yogyakarta yang sangat majemuk karena berasal dari beragam latar belakang baik suku, etnisitas, agama, asal daerah, bahasa, cara berpikir, selera makanan, profesi, gaya hidup, tingkat ekonomi, orientasi seksual, dan sebagainya, prinsip pro-eksistensi dan tepa salira ini menjadi prinsip yang penting. Sebagai kota pelajar yang menyediakan banyak fasilitas pendidikan, Yogyakarta menjadi tempat tinggal dan tempat berkumpulnya orang-orang dari beragam daerah di seluruh Indonesia. Kemajemukan ini sangat rentan terhadap munculnya beragam prasangka karena perbedaan-perbedaan yang tak terpahami. Pengalaman-pengalaman buruk dalam relasi sosial antar perbedaan yang pernah terjadi atau sering terjadi, cenderung melahirkan prasangka yang menetap dan menjadi stigma terhadap kelompok masyarakat yang berasal dari daerah tertentu sehingga melahirkan penolakan. Konflik dan bahkan kekerasan seringkali terjadi di antara kelompok-kelompok warga yang berasal dari wilayah kebudayaan yang berbeda, lalu lahirlah prasangka baru yang menetap dan dipelihara di dalam pikiran melalui konstruksi wacana diskriminatif tentang kelompok lain. Akibatya satu sama lain saling memelihara prasangka dan stigma, yang sebenarnya kebenarannya perlu diuji karena tentu saja apa yang diyakini di dalam prasangka itu tidak seluruhnya merupakan kebenaran faktual. 

Terutama menyangkut perbedaan latar belakang yang krusial seperti etnisitas, keyakinan dan agama, serta aliran keagamaan, masyarakat Yogyakarta dan Pemerintah Daerah sangat perlu melatih dan membiasakan diri dengan sikap kritis, prinsip pro-eksistensi dan tepa salira ini. Ketika masyarakat gagal menjalankan prinsip-prinsip ini, diskriminasi terhadap kelompok tertentu dengan mengatasnamakan toleransi sangat mungkin terjadi, dan ini sudah sangat sering terjadi. Penolakan terhadap aktivitas ibadah agama atau kepercayaan tertentu, atau penolakan terhadap pembangunan tempat ibadah tertentu seringkali terjadi bahkan dengan mengatasnamakan toleransi dengan rumusan “demi menjagai toleransi dan kerukunan yang sudah ada”. Jika hal demikian ini terjadi, maka toleransi yang disebut-sebut itu adalah sebuah toleransi yang semu belaka. Oleh karena itu dalam masyarakat majemuk seperti masyarakat Yogyakarta ini, toleransi tidak memadai dan rentan untuk dimanipulasi.Yang dibutuhkan adalah prinsip pro-eksistensi dan tepa salira di mana masyarakat saling dapat merasakan penderitaan yang dialami ketika hak-hak dasarnya dilanggar, dan saling membantu untuk memberikan pembelaan terhadap kelompok lain yang hak-haknya dilanggar, karena pelanggaran terhadap hak-hak kelompok lain itu sudah dimaknai dan dirasakan sebagai sama dengan pelanggaran terhadap hak-haknya sendiri.

Akan menjadi lebih berdayaguna lagi apabila prinsip dan nilai pro-eksistensi serta tepa salira ini benar-benar manjing ajur ajer di dalam kebijakan-kebijakan publik yang dihasilkan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, selain terinternalisasi di dalam cara berpikir, bersikap dan bertindak individu-individu dan masyarakat. Karena sejatinya, prinsip pro-eksistensi dan tepa salira ini sudah tertanam di dalam hikmat/kebijaksanaan sebagaimana terumuskan di dalam sila 4 dalam Pancasila, yang terkait dengan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab karena memandang manusia lain sebagai setara, sebagai konsekuensi dari kesadaran bahwa tak satupun manusia boleh memandang diri sebagai lebih berkuasa daripada yang lain karena hanya ada satu subyek yang sungguh berkuasa sebagaimana tercermin dalam sila pertama, sehingga setiap individu dan masyarakat memiliki orientasi untuk membangun hidup bersama penuh kedamaian seperti terungkap dalam sila Persatuan Indonesia, demi mencapai nilai yang dijunjung tinggi yakni keadilan seperti ternyatakan dalam sila kelima Pancasila. Jika demikian halnya, Yogyakarta akan benar-benar pantas disebut sebagai daerah Istimewa. 

Semoga masyarakat dan Pemerintah Daerah kita semakin sanggup mencapainya.***


Catatan Kaki:

1. Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Gramedia, 2003, hlm.513

2. Sri-Edi Swasono, “Persatuan, Kebangsaan dan Integrasi Nasional” dalam Masalah Kebangsaan Kita, Kompilasi Seri Diskusi Kebangsaan edisi 1-12 Tahun 2017, Tonggak Pustaka dan Persatuan Wartawan Sepuh Yogyakarta, 2019, hlm.85

3. https://tekno.tempo.co/read/841121/inilah-nenek-moyang-kita-4-gelombang-migrasi-ke-indonesia/full&view=ok, Diakses 18 Agustus 2021

4.  https://historia.id/kuno/articles/manusia-indonesia-adalah-campuran-beragam-genetika-6mmWr/page/1, diakses 18 Agustus 2021

5. Bdk. M. Amin Abdullah, Multidisiplin, Interdisiplin, dan Transdisiplin, Metode Studi Agama dan Studi Islam di Era Kontemporer, IB Pustaka, Yogyakarta, 2021, hlm.288-289.

6. Bdk. J. Haryatmoko, Era Post-Truth, Mengintensifkan Prasangka Negatif, Emosi Sosial dan Populisme Agama, bahan kursus Filsafat Universitas Sanata Dharma, 4 Maret 2019, hlm.8-9

7. Lih. Jodi Dean, “Why Zizek for Political Theory?” dalam International Jurnal of Zizek Studies, Volume One, Number One, hlm.18-32, 

8. Bdk. J. Haryatmoko, Critical Discourse Analysis, Landasan Teori, Metodologi dan Penerapan, Rajawali Pers, 2016

9. Bdk. Agus Nuryatno, Mazhab Pendidikan Kritis, Menyingkap Relasi Pengetahuan, Politik, dan Kekuasaan, Resist Book 2008, hlm.2

10. Roger Berkowitz, Jeffrey Katz, and Thomas Keenan, Thinking in Dark Times, Hannah Arendt on Ethics and Politics, Fordham University Press 2010, hlm.9